[caption id="attachment_99466" align="alignleft" width="250" caption="sumber: luwu raya.com"][/caption] Putusan pengadilan yang dinilai tidak adil bukan cerita baru di negeri ini. Kali ini, seorang ibu bernama Masnia melakukan penolakan terhadap eksekusi putusan Pengadilan Negeri Palopo hingga mengakibatkan dua kali penundaan eksekusi.
Eksekusi tersebut bermula dari sengketa kepemilikan tanah di Desa Seba-seba, Kecamatan Walenrang Timur Kabupaten Luwu antara Masnia selaku tergugat melawan Randa Sowwo dan Lotong Erong sebagai penggugat. Para penggugat mendalilkan bahwa tanah terperkara adalah milik Randa Sowwo, sementara Masnia berdalih bahwa tanah tersebut merupakan boedel warisan berasal dari bapaknya yang belum terbagi.
Pertikaian antara ponakan melawan paman dan sepupu itu telah diupayakan penyelesaiannya oleh pemerintah desa setempat, namun musyarawarah tidak tercapai sehingga kedua belah pihak melanjutkan penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri Palopo. Hasilnya, Pengadilan Negeri Palopo dalam perkara No. 63/Pdt.G/Pn.Plp/2000 memutuskan bahwa tanah terperkara adalah milik Penggugat 1 Randa Sowwo yang diperoleh karena pembelian. Dan hingga tingkat kasasi pun putusan tetap sama, pemilik sah atas tanah adalah Randa Sowwo. Bukan Lotong Erong kendati ia adalah salah seorang Penggugat. Jika disimak isi putusan, Lotong Erong dimenangkan dalam perkara hanya berkenaan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Masnia terhadap dirinya berupa larangan untuk menggarap tanah
Sayangnya, penggugat ketika itu lupa mencantumkan permohonan yang bersifat menghukum ( condemnatoir ) terhadap tergugat untuk menyerahkan tanah terperkara itu.
Tergugat memang pernah diminta untuk menyerahkan tanah sengketa dalam sidang aanmaning namun Ia menolak melakukannya. Sehingga Randa Sowwo selaku pemenang mengajukan eksekusi melalui jurusita Pengadilan Negeri Palopo. Tapi lantaran tidak ada amar putusan yang berisi penghukuman (condemanatoir) maka eksekusi tidak dapat dijalankan alias non-executable
Agar gugatannya tidak sia-sia, Randa Sowwo pun kemudian mengajukan gugatan baru dalam perkara No.33/Pdt.G/PnPlp/2009. Tuntutan pada intinya berisi agar Masnia menyerahkan tanah sengketa kepadanya. Dalam sengketa kedua ini, Lotong Erong masih tetap ikut sebagai pihak penggugat padahal status tanah sudah jelas adalah milik Randa Sowwo. Mengikuti sengketa atau tidak bukanlah masalah baginya, sebab putusan perkara pertama, telah menghukum Masnia untuk menghentikan perbuatannya melarang dirinya untuk menggarap tanah. Tapi entah mengapa, kuasa Tergugat tidak mengajukan eksepsi tentang keberadaan Lotong Erong dalam sengketa kedua. Dan mengapa pula hakim Pengadilan Negeri Palopo ketika memeriksa perkara tidak menolak secara ex-officio ikutnya Lotong Erong sebagai penggugat. Sebab tuntutan hanya berkenaan dengan permintaan pengosongan tanah sehingga yang berhak mengajukannya hanyalah Randa Sowwo, bukan Lotong Erong.
Perkara kemudian berlanjut di Pengadilan Tinggi Makassar yang pada akhirnya memutuskan sama dengan putusan Pengadilan Negeri Palopo. Menghukum Masnia untuk menyerahkan tanah. Tetapi seminggu sebelum terbit putusan, Randa Sowwo selaku pihak yang berhak atas tanah meninggal dunia. Dan dia tidak meninggalkan ahli waris. Tahu akan hal itu, Masnia tidak mengajukan Kasasi. Namun sayang ia lupa bahwa selain Randa Sowwo, masih ada Lotong Erong yang menjadi Penggugat
Nyatanya seperti saat ini, Lotong Erong mengajukan permohonan eksekusi setelah batas waktu untuk mengajukan kasasi telah terlampaui dan Masnia tidak mengajukannya. Putusan berkekuatan hukum tetap
Ketika eksekusi hendak dijalankan, Masnia di bantu oleh warga yang peduli terhadapnya memblokir jalan (klik disini). Selain warga, MA. Borang,SH (Direketur LSM Bakil) pun nampak menghalang-halangi petugas dari kepolisian. Eksekusi pun pada akhirnya ditunda. Kata MA Borang kepada saya, “Pemenang kan sudah meninggal, dan dia tidak mempunyai Ahli Waris, Lotong Erong itu hanya penggugat yang ikutan saja. Tidak punya kewenangan untuk mengajukan eksekusi”. Mendengar penjelasannya itu, saya coba menawarkan solusi. Dan Masnia yang ketika didampingi oleh MA Borang mengatakan “ Ya saodara kami akan mengajukan perlawanan atau pk terhadap putusan”
Memang eksekusi adalah akhir dari perjalanan dalam perkara perdata. Tapi bukan berarti segala upaya telah tertutup. Pihak tereksekusi boleh menggunakan upaya hukum, katakanlah PK atau Verzet (perlawanan). Atau bahkan pihak ketiga yang merasa dirugikan oleeh sebuah putusan pengadilan dapat mengajukan keberatan melalui upaya perlawanan pihak ketiga atas putusan ( Derden Verzet ). Tapi sebagai catatan, segala upaya tersebut tidak menghentikan eksekus kecuali ada alasan yang oleh Ketua Pengadilan dinilai dapat membatalkan eksekusi. Jadi penundaan itu eksekusi bersifat eksepsional, kasusitis
Kabar terakhir yang saya peroleh, Masnia kini telah menghubungi Kantor Hukum Ishak. G. Pagalla & Rekan guna menangani masalahnya. Dan kabarnya, Ishak akan mengajukan Verzet atas pelaksanaan eksekusi. Menurut Ishak, “…permohonan eksekusi diajukan oleh pihak yang tidak jelas legal standingnya dalam perkara. Memang Lotong Erong adalah penggugat. Tapi putusan MA yang dijadikan rujukan tidak menyebut dirinya sebagai orang yang berhak atas tanah yang kini jadi objek eksekusi. Klaim Lotong Erong yang dibenarkan oleh MA hanya berkenaan dengan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang dilakukan oleh klien kami terhadap dirinya. Bukan kepemilikan tanah seperti halnya, almarhum Randa Sowwo”