Mohon tunggu...
Syafruddin dJalal
Syafruddin dJalal Mohon Tunggu... profesional -

bagi Kompasianer yang satu ini, hanya ada satu Indonesia yakni Indonesianya, Indonesia Anda dan Indonesia kita. Mengapa harus berbeda tegasnya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Siapapun Boleh Disebut Pahlawan, Termasuk Ibu Sri Mulyani

22 Januari 2010   08:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_58798" align="alignleft" width="300" caption="ini bukan satu-satunya cara. Sumber lustrasi : unduhan google"][/caption]

Kemarin seusai mem-publish postingan di Kompasiana, saya mengalami kemalangan berupa PC yang ngadat. Akibatnya, saya tidak dapat mengirim tanggapan balik atas postinga tersebut. Untunglah seorang kawan, pagi tadi membetulinya. Hee …. Gak pakai bayar lagi. Terlepas dari gratis-gratisan itu. Bagi saya, kawan saya itu adalah pahlawan hari ini. Terima-kasih, “Tuhan !”

Siapapun yang berbuat baik bagi orang lain, terlebih tindakannya itu mendatangkan manfaat bagi bangsa dan negaranya, serta masyarakat dan keluarganya, maka ia boleh disebut “pahlawan”. Sekali lagi hanya “sebutan” bukan “gelar”. Sebab gelar harus memenuhi syarat tertentu. Sementara sebutan pahlawan tidak, ia bisa dilakukan secara sepontan oleh siapapun. Sangat tergantung dari sudut pandang seseorang setelah merasakan manfaat dari tindakan orang yang telah menerbitkan manfaat itu. Tapi bukan mustahli “sebutan” bisa berubah jadi gelar kenegaraan.

Atas dasar pemahaman sederhana itu, maka kemarin saya memosting sebuah artikel berjudul, “Daeng JK, Pahlawan. Bagaimana Sri Mulyani? Tunggu Dulu…”. Isinya didasarkan atas pengamatan terhadap jalannya sidang Pansus yang ditayangkan oleh stasiun TV dan sejumlah sumber dari berbagai blog dan harian. Kesimpulan saya adalah baik JK maupun Sri Mulyani adalah pahlawan, tapi dalam kategori “sebutan” bukan “gelar”.

Keduanya di mata saya, telah menunjukkan niat yang baik bagi negeri ini. Hanya saja langkah penyelamatan terhadap Bank Century itu kemudian dipersoalkan dan dikomentari dengan nada-nada yang tak elok, padahal belum ada putusan sahih yang menyatakan bahwa langkah tersebut salah. Pansus hanyalah proses politik untuk mengungkap fakta sejati. Mengadili tetaplah wewenang hakim.

Semua pun tahu hal itu, lantas mengapa mesti terburu-buru menjatuhkan “vonnis” terutama terhadap Sri Mulyani? bukankah ini yang namanya ketidak-adilan.

Sebutan “pahlawan” saya tujukan kepada JK lantaran Daeng ini telah menunjukkan ketidak-sukaannya pada kejahatan terhadap dana nasabah seperti yang telah dilakukan oleh Robert Tantular & Gank. Beliau memerintahkan pengangkapan terhadap Robert Tantular. Hasilnya, kini ia telah divonnis bersalah. Kemudian keberadaan perintah tersebut diakui oleh Susno Duaji. Meskipun Bung Poltak (Ruhut) berupaya mendebatnya, dengan mengatakan “intervensi”, tapi itu tidak mempengaruhi kualitas niat baik Daeng JK. Sebab yang namanya Polri itu adalah bawahan presiden. Karenanya perintah penangkapan itu bukan intervensi. Perintah tersebut menjadi intervensi mana-kala, JK mencampuri proses atau jalannya penyelidikan dan atau penyidikan. Sampai di situ saja ulasan tentang kekeliruan Bung Poltak. Dan saya kira tak ada lagi yang akan menyoal perintah Daeng JK itu.

Mungkin saja akibat ulah Robert Tantular dan Ganknya itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian kita, karena itu perlu diselamatkan. Dan setelah berkalkulasi, nilai penyelamatan Rp.6,7 Trilliun. Kemudian langkah tersebut dipersoalankan hingga kini dan disertai tudingan yang tak mengenakkan. Bahkan ada ahli yang mengatakan (meski tidak secara tegas), bahwa ancaman krisis hanya ketakutan yang tidak terbukti. Terlebih lagi, Rizal Ramli dalam sidang Pansus, megatakan ada ekonom kerjanya menakut-nakuti Negara ini agar diberi kekuasaan yang lebih besar. Terserahlah penilaian Anda terhadap komentar sang ahli itu,tapi bagi saya itu tak etis.

Memang harus diakui, bahwa bail-out bukanlah satu-satunya cara, masih ada cara lain seumpama dengan menutup bank yang gagal. Tapi pertanyaan kemudian, bagai-mana seandainya benar bahwa ada ancaman yang berdampak sistemik dan pilihan yang tepat bail-out? Bukankah itu berarti kepahlawanan seorang Sri Mulyani telah kita hujat! Tapi sekali lagi, semua itu “seandai”, masih harus dibuktikan. Tentunya proses pembuktiannya nanti dibawah penilaian ahli yang independen, bukan ahli-ahlian yang bekerja di bawah order politik. Jadi biarlah Ibu Sri Mulyani membuktikan kebenaran pilihannya itu.

Akhir kata, sekali lagi memang sulit jadi pahlawan. Seandainya dalam setiap perbuatan kita bermula dari keinginan untuk menjadi “pahlawan” walaupun itu hanya dalam lingkup keluarga. Insyah Allah, Indonesia akan lebih baik. Mungkin itu yang disebut “Jihad” !

wassalam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun