Sastra ketika dihadapkan pada nilai-nilai kehidupan adalah suami yang berembuk kembali pada istrinya soal masa depan. Mengapa begitu? sebab, badan dari sastra adalah apa yang benar-benar terjadi di depan mata, diserap melalui pemahaman dan menjadikannya hal-hal yang patut direkam menjadi tulisan, karena sifatnya unik dan nyentrik.
Ketika seseorang mengatakan sastra itu dibangun oleh hanya fiksi dan fiksi adalah pondasi utama, agaknya mereka perlu berbenah dalam bersastra. Perlu sekali untuk mencoba memilah ulang, tiap-tiap yang sudah terbaca namun tak berbekas kemudian. Maka, sastra memiliki kesimpulan, bahwa ia adalah sesuatu yang abstrak dan dapat menjadi apapun, mengandung apapun dan dipakai untuk apapun.
Ketika kita menoleh ke belakang, kita akan mengingat cerita-cerita dan nyanyian dari sebuah daerah. Apakah itu asal-usul sebuah tempat, sebuah tragedi, sebuah budaya yang kompleks atau se-sederhana anak yang durhaka pada Ibunya. Ketahuilah, bahwa semuanya adalah sastra. Alat yang dipakai sebagai hiburan dan metaforanya bekerja sebagai nasihat. Seperti, "jangan pergi ke Hutan itu, ada monster jahat disana", tak ada monster, ataupun sifat jahat. Mitos dan legenda yang dilontarkan semata-mata untuk menjaga alam, menjaga agar hutan tetap asri tanpa ada campur tangan oleh manusia. Dahulu, kiranya sastra bekerja seperti itu.
Zaman berubah, zaman berganti, sastra dan fungsinya mencapai taraf yang lebih luas. Misalnya pada zaman kolonialisme, kita akan mengenal angkatan sastra 45 dengan karya-karyanya yang menohok bak senjata. Mengkritik pemerintah kolonial dari ujung kepala hingga kaki. Menyuruh mereka untuk segera hengkang dari bumi pertiwi ini. Itu adalah sastra, dan mengandung kausalitas. Berguna sebagai penyampaian gagasan---apakah itu keras atau lembut, ataujuga sarkastis. Tapi, sastra akan terus bekerja seperti itu.
Pada era pop sekarang, kita mengenal angkatan sastra 2000-an, angkatan progresif, penerapan dari pemikiran-pemikiran bukan timur. Kita mengenal Ayu Utami dengan Saman yang mengobrak-abrik budaya pakem-nya masyarakarat sini, memancing pro-kontra muda hingga tua. Tapi, isu-isu yang dibawa adalah sesuatu yang nyata, yang cocok sekali dibawa dalam meja diskusi, tentunya akan syahdu jika terus dibicarakan. Mulai dari pembahasan soal tubuh, seksualitas, perempuan dan jabatan, perempuan dan pendidikan, sampai-sampai perempuan berada diatas laki-laki dan konsep-konsep yang mirip.
Merujuk pada bacaan diatas, istilah romantisasi dan polititasi agaknya cocok dipakai dalam mendeskripsikan siklus kehidupan tokoh karya sastra. Belakangan ini, kata "romantisasi" kian sering terdengar (atau, terbaca) di media massa. Kata ini merujuk pada penggambaran sesuatu agar tampak lebih baik atau lebih menarik daripada yang sebenarnya. "Sesuatu" yang dimaksud bisa apapun, salah satunya yang mungkin masih hangat di telinga adalah romantisasi penyakit mental. Media sosial sempat cukup riuh menyebut romantisasi ketika membahas tema tersebut.
Begitupula dengan istilah politisasi. Khususnya politisasi pada tubuh, yang pertama kali dikemukakan oleh filsuf poststrukturalis Michel Foucault. Politisasi tubuh merujuk pada realitas pereduksian makna dan fungsi tubuh hanya sebagai obyek yang memberikan kenikmatan dan keuntungan. Istilah ini tidak dapat dipisahkan dari konteks fenomena seks dan wacana seksualitas masyarakat postmodern. Penjajaan tubuh (perempuan) dan komersialisasi seks merupakan fenomena khas masyarakat ini.
Saya memiliki satu bacaan yang mengusung tema-tema sentral diatas. Kumpulan Cerpen dari Rieke Saraswati berjudul "Cukup Sekian Cerita Cinta untuk Hari Ini". Kalau dibaca sekilas, ini adalah stensilan. Tentunya kita membutuhkan pembatasan untuk umur, agar tak sembarang dalam membaca dan mendiskusikan. Tapi, lebih dari itu, bacaan ini adalah sesuatu yang menyegarkan. Menanamkan konsep-konsep soal perempuan yang wajib dibicarakan dan tak lagi dianggap tabu. Ini adalah pengusung dari sastra populer itu sendiri, sebab telah lepas dengan kekakuan bahasa dan struktur "njlimet" karya sastra. Kutipan-kutipan yang termaktub ialah:
"Kamu pikir, kamu cukup nakal untukku?"
Krishna seolah membaca pikiranku. "Seksi", bisiknya. "Seperti kamu."
"Salah satu dari mereka mirip badut."
"Kenapa, Cantik? Kamu dimana? Aku membutuhkanmu sekarang."
Penulis dengan bebasnya mengobrak-abrik dengan beringas semua yang "tak masuk akal" di kepalanya. Misalnya saja, cerita berjudul "Teruskan, Semakin Sakit Semakin Baik", hendak menyingkap perihal budaya yang berbeda dalam sebuah rumah tangga. Isu-isu yang dibahas amat populer, sampai-sampai kita tak lagi menemukan batasan soal tabu atau tidaknya sesuatu. Pun, bahasa-bahasa yang diadopsi adalah frontal untuk segi apapun, sebab ini menyuguhkan sesuatu yang baru dan hendak mencapai popularitas dalam genrenya.
Kalau boleh saya katakan, sastra populer menemukan marketnya ketika cerita yang termaktub benar-benar inovasi. Artinya, seseorang dapat menghadirkan cerita yang sama, tapi juga menghendaki cerita yang dihadirkan akan melompati yang sebelumnya. Elemen-elemen alam, isu yang sedang hangat, diluar nilai budaya yang ada dan sesuatu yang mengarah pada kebebasan ekspresi. Remaja hingga orangtua akan menemukan minatnya disana, adapun sebagai hiburan sampai dijadikan sebuah penelitian.
Lalu, kompleksnya kumpulan cerpen ini ditandai oleh judul cerita yang sama dengan judul bacaan oleh Rieke Saraswati. Hendak memikirkan bagaimana sebuah cerita cinta dirakit dengan sangat kompleks, sampai-sampai pembaca bukan lagi membaca, namun menonton dan mulai mencocok-cocokan kebetulan-kebetulan yang terjadi di kehidupan nyata. Apalagi dengan bahasanya yang dekat, tidak memakai diksi yang aneh-aneh, dan nekat dalam mendeskripsikan.
Pada intinya kumpulan cerpen ini adalah simbolisme dari sastra populer pada zaman ini, mengakuisi banyak jenis sastra yang dianggap popularitasnya lebih tinggi. Namun, menurut saya buah pikiran dari Rieke mendapat tempat tersendiri bagi pembaca yang menyukai kedalaman sebuah cerita, bahasa yang mudah dan rumah bagi kisah-kisah pribumi atau ingin mengenal pribadi orang-orang dari luar negeri.
Dengan kekayaan---isme dalam tiap-tiap dialog dan narasinya, tentunya karya sastra ini terbuka untuk segala jenis diskusi dan penelitian. Kesimpulan yang didapat melingkupi progresivitas sebuah budaya, yang mengejar ketertinggalan lalu hendak merefleksikannya.
Daftar Pustaka:
Rahardi, R Kunjana. 2009. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Erlangga.
Saraswati, Rieke. 2015. Cukup Sekian Cerita Cinta Untuk Hari Ini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Susilo, Daniel. Kodir, Abdul. 2016. "Politik Tubuh Perempuan: Bumi, Kuasa, dan Perlawanan" Jurnal Politik, Volume 1, No 2. Malang: UNM Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H