Seorang hebat pernah mengatakan jangan pernah melupakan sejarah. Sejarah merupakan refleksi apa yang sudah terjadi. Apapun keputusan yang telah dijatuhkan di meja keadilan sudah tidak bisa dicabut lagi. Siapapun orang yang terlibat dalam proses mencapai keputusan tersebut adalah bagian dari apa yang takkan pernah bisa disesali atau dikutuk. Ini bukan tentang prinsip hidup. Atau tentang filosofi. Konfusius jauh lebih mengerti akan hal itu. Soal politik? Karl Marx jauh lebih paham. Ataupun tentang ilmu eksakta. Banyak ahli yang lebih paham tentang itu.
Ini adalah tentang aku dan tanah airku. Sejarah sudah mencatat banyak hal tentang tanah airku. Sudah ribuan buku yang tertutup debu yang mencatat tentang hal itu. Sudah tak terhitung waktu yang dihabiskan oleh sang ahli sejarah untuk menggambarkan kejayaan dan kesengsaraan yang sudah dialami oleh negeriku. Lelahnya mulut-mulut tua yang selalu menceritakan cerita- cerita itu sudah tak dapat diukur dengan alat ukur modern. Para musafir yang dulu sempat menjadi protagonis dalam roman pahlawan bahkan sudah tinggal debu yang tertanam.
Tetapi tentangku? Mungkin hal itu tak tertuang secara literal di dalam lembaran kertas yang digoresi tinta berwarna. Tetapi, suatu waktu ketika buku sejarah sudah mencatatkan namaku, mungkinkah aku masih berjalan di atas permukaan bumi ini? Mungkin saja, atau semuanya berakhir tak kasat mata. Pahlawan belum tentu dipandang oleh sejarah secara umum.
 Pada dasarnya manusia adalah seonggok daging yang dengan kuasa Tuhan diberikan anugerah akal dan nafsu. Dua hal yang akan menyeret manusia ke jalan takdirnya. Dua hal yang akan menentukan jenis manusia apa yang akan berjalan di permukaan bumi. Dua hal yang berperan besar dalam pengambilan keputusan untuk masa depan sebuah bangsa dan negara.
Banyak keputusan hebat yang membawa perubahan besar ke dalam kehidupan manusia. Keputusan-keputusan itu beradu argumen tanpa menyisakan celah untuk dilawan. Keputusan untuk memenuhi tantangan jadi tuan rumah Asian Games 2018 adalah salah satu keputusan yang akan dicatat oleh sejarah. Sesuatu yang takkan berguna untuk disesali di masa mendatang. Aku atau siapapapun diantara kita yang menjadi saksi sejarah akan hal ini pastilah sudah mendapatkan kehormatan besar. Sebuah kebanggaan luar biasa. Perjuangan akan persiapan dan menjaga pelaksanannya berjalan sukses merupakan suatu perjuangan yang harus diapresiasi.
Indonesia, sebuah negara yang dahulu dikenal dengan kepulauan nusantara. Sebuah perkumpulan peradaban yang telah ada sejak berpuluh abad yang lalu. Sejak Maharaja Kudungga mendirikan kerajaan di hulu sungai Mahakam. Sampai ketika sang Dwi Tunggal membacakan proklamasi dengan suara yang menggetarkan hati generasi setelahnya. Negara ini, dengan apapun negara ini diperjuangkan layak untuk berada di garis terdepan dalam pembangunan peradaban. Dan Asian Games adalah sebuah lompatan besar dalam pembangunan sebuah negara yang dihuni oleh 250 juta pasang mata.
Matahari bulan Agustus sudah terbit di ufuk timur. Bulan ini merupakan bulan yang penuh dengan kenangan manis bagi rakyat negara berlambang garuda pancasila. Pada pekan ketiga bulan ini, di suatu pagi Jumat yang syahdu. Rakyat Indonesia dapat secara lantang menyanyikan bait lagu yang digubah oleh W. R. Supratman serta mengibarkan bendera kebanggaan, sang saka merah putih. Bulan ini pulalah yang akan menjadi saksi dari perhelatan akbar yang telah dipersiapkan oleh seluruh pelaku sejarah dari sebuah event yang bernama Asian Games.
Dilihat dari persiapan sudah dapat dilihat bahwa persiapan sudah mencapai 99 persen. Meskipun jika ditambahkan dengan usaha dan perjuangan, kita sudah dapat mengatakan bahwa persiapan sudah rampung. Hanya waktulah yang ditunggu untuk membuka perhelatan akbar ini. Masalah kebanggaan? Berapa lembar kertas dan botol tinta yang perlu dipersiapkan untuk menuliskan betapa bangganya rakyat ini akan event ini. Ini adalah momen sakral yang mungkin hanya diberikan sekali dalam satu generasi. Kebanyakan dari kita mungkin belum dilahirkan ketika asian games diadakan di negara ini.
Tahun 1962, adalah kali terakhir Asian Games diadakan di Indonesia. Sukarno, manusia yang karena kekerasan tekadnya berhasil menjadikan negara ini merdeka adalah orang yang membuka ajang ini saat itu. Asian Games 1962 adalah suatu langkah besar dalam sebuah langkah pembuktian bahwa tak ada satu hal pun yang bisa meremehkan tanah ini. Rintangan yang menghadang dapat dijadikan cambuk tajam untuk dapat membuktikan bahwa keputusan itu bukan hanya kata-kata yang terucap. Tetapi itu adalah sebuah sumpah seorang prajurit yang ingin membanggakan negaranya.
56 tahun berlalu dan pertaruhan akan harga diri itu kembali lagi didengungkan di atas tanah ini. Dan dengan segenap perjuangan dan kerjasama antar pihak yang terlibat, negara ini akan membuktikan bahwa negara ini adalah negara yang besar, negara yang punya harga diri. Negara ini akan membuktikan bahwa harga dari sebuah keputusan yang telah diambil itu mahal. Dan berapapun harganya negara ini akan membayarnya lunas.