Â
Apa yang menarik dari perayaan HUT ke-70 tahun Indonesia kali ini?
Usia 70 tahun, bukanlah usia yang muda lagi. Apalagi untuk sebuah negara bernama Indonesia. Banyak peristiwa asam dan garam yang sudah dilalui. Pahit getir perjalanan negeri ini. Generasi silih berganti ke generasi berikutnya. Yang muda datang, yang tua pergi.
Banyak peristiwa, banyak momen dan banyak kenangan di dalamnya. Ini merupakan sebuah gejala yang sangat menarik serta sangat bermakna dalam konteks tumbuh kembang kenegaraan. Bagi saya sendiri, sebagai anak dari zaman reformasi. Saya tak pernah bisa merasakan dan hanya mendapat cerita saja dari buku sejarah yang kumal tentang para pemuda pejuang negeri ini.
Mungkin, lebih asiik mendengarkan kisah-kisah kegetiran kakek-nenek yang bikin bulu kuduk merinding. Hidup dalam pelukan busung lapar dan wabah kelaparan yang mengenaskan. Mereka terpaksa memasak bekicot dan ‘roti asia’ (adukan gula merah dan bekatul), atau mencicipi ‘bubur perjuangan’ yang diramu dari ubi jalar, singkong dan bekatul. Yang lebih mirip makanan ternak dari pada makanan manusia.
Mereka juga berkorban harta, jiwa dan raga mempertahankan kemerdekaan. Dengan selembar potongan kain kecil berwarna merah-putih diikatkan ke kepala, menenteng bambu runcing. Mereka bergerilya masuk hutan keluar hutan, memanggul senjata, berperang dan menghadang dentuman bom. Bangkai-bangkai manusia berserakan di jalan-jalan, bahkan ada yang tergeletak mati begitu saja seperti sampah. Inikah harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah kata ‘merdeka’.
Lalu, apa makna ‘merdeka’ bagi mereka saat itu?
Ketika para pemuda pejuang itu berpapasan, mereka selalu saling menyapa dengan meneriakan semboyan, Merdeka atau Mati? Ya, Merdeka! Merdeka adalah sebuah gong kecil yang suaranya menggema ke seantero langit. Merdeka adalah suara langit yang tak terbantahkan. Suaranya kecil namun terdengar dimana pun. Suara yang membebaskan jiwa-jiwa terbelenggu ketika itu. Para pemuda pejuang itu telah menjual jiwa dan raga mereka untuk sebuah kebebasan, sebuah kemerdekaan.
Sebegitu hebatkah gemuruh suara Bung Karno membacakan teks proklamasi sehingga rakyat yang mendengarkannya terdiam dan terpaku hening? Hingga mereka tak mau beranjak dari tempat mereka berdiri dan mematung diam. Sebegitu menghipnotis dan sakralkah kata kemerdekaan saat itu. Bendera Merah-Putih pun berkibar dengan gagahnya di langit.
Waktu terus berjalan, pelan tapi pasti. Cerita-cerita itu pun kian menguap dan kabur di telan zaman. Memang, beberapa keping bagian cerita masih tersimpan dalam ingatan. Para sejarawan hadir mencoba menggali dan merawatnya dalam sebuah semangat jiwa jaman yang tak lagi sama.
Dulu tak lagi sama dengan sekarang. Kegetiran perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah milik masa lalu. Saya terngiang dengan pernyataan pak Anies Rasyid Baswedan yang mengatakan bahwa, Tugas Generasi Sekarang adalah Melunasi Janji Kemerdekaan. Penghidupan yang layak, pelayanan kesehatan yang baik, akses pendidikan berkualitas bagi anak-anak ibu pertiwi.