Illustrasi eks Napi (www.tempo.co)
Dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XII/2015 yang berisi pembatalan pasal 7 huruf g UU No 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dianggap sudah mencederai semangat Anti Korupsi.
Disebutkan di pasal 7 huruf g No 8 tahun 2015, larangan kepada mantan narapidana (korupsi) untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Jelasnya, konsekwensi gugurnya pasal ini membuka ruang dan peluang kepada mantan eks napi (korupsi) untuk ikut pilkada. Tak pelak, hal ini tentu menyisakan persoalan baru.
Saya ambil contoh. Pertama, Pilkada Kota Manado. Nama Jimmy Rimba Rogi terjaring masuk bursa calon walikota Manado pada pilkada serentak nanti. Jimmy Rimba diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Jimmy pernah dipidana bersalah untuk kasus korupsi dan dihukum 5 tahun penjara serta denda Rp 200 juta rupiah. Dia didakwa terbukti korupsi APBD Kota Manado tahun 2006 dan 2007. [Baca di sini]
Kedua, Pilkada Kota Semarang. Soemarmo Hadi Saputro bersama Mahfudz Ali diusung partai Gerindra dan PAN sebagai calon walikota Semarang. Perlu diketahui, Soemarmo pernah ditangkap KPK karena terbukti terlibat kasus korupsi dan mendekam di ‘Hotel Prodeo’ LP Cipinang untuk merenungi kesalahannya. [Baca disini]
Isu ini segera menjadi tranding topic yang menarik untuk diperdebatkan. Apalagi bila menyimak sikap pro dan kontra menangapi masalah ini. Saya akan ambil dua komentar, yakni: Surya Paloh sebagai elit politik dan wapres JK.
Surya Paloh berkomentar bahwa para eks tapol ini memiliki hak hukum yang sama. Dia juga menilai bahwa tak ada yang sempurna di bawah kolong langit ini. Apa salahnya memberikan kesempatan kedua kepada Eks Napi itu. [Baca di sini]
Kata kunci yang saya tangkap adalah: Kesempatan Kedua!
Saya sangat menghargai bahwa Surya Paloh memiliki niat yang bersih, tulus, suci dan jiwa pemaaf. Tapi niat saja, tidak cukup. Saya kira banyak hal-hal buruk terjadi dimulai dari niat yang baik. Apalagi para calon kepala daerah ini terbukti didakwa dan dipidana atas kasus korupsi. Kesempatan kedua adalah sebuah keniscayaan. Ini jelas-jelas usaha menggerogoti semangat anti korupsi dan mengubahnya menjadi semangat berkompromi.
Saya mencurigai intrik kompromi ini merupakan bentuk menyeret pelan-pelan komitmen semangat anti korupsi masuk ke zona politik. Yah, kalo sudah berkubang di zona politik, semua serba abu-abu alias tak jelas. Semua bisa dikompromikan. Padahal, komitmen anti korupsi jelas, korupsi wajib diperangi dan dan tak boleh lagi memberi ruang gerak pada pelakunya.
Wapres JK berkomentar lain. Calon kepala daerah yang eks napi rawan terjebak dengan kampanye hitam. Pak wapres JK lebih cenderung untuk menyerahkan keputusan ke tangan masyarakat. Ya, itu tergantung bagaimana masyarakat menilainya? [Baca disini]
Kata kunci yang saya tangkap adalah: Keputusan di tangan Masyarakat!
Saya menghargai apresiasi pak wapres JK melihat sisi negatif dari calon kepala daerah eks napi itu. Tapi, ada sedikit hal yang mengusik saya. Bagaimana mungkin kesadaran masyarakat bisa muncul apabila tidak didukung dengan akses informasi terhadap sosok para calon kepala daerah itu. Keputusan ‘kan bisa diambil berdasarkan berbagai bahan pertimbangan. Nah, apa bahan pertimbangan masyarakat dalam memutuskan siapa yang layak jadi kepala daerah mereka.
Mencermati hal ini, saya meilhat ada 3 faktor yang menentukan untuk membuka ruang kesadaran masyarakat dalam menyikapi persoalan calon kepala daerah eks napi ini:
Pertama, Proaktif Masyarkat. Sikap proaktif masyarakat ini dapat diukur dengan skala pengetahuan dan informasi yang dikumpulkan perihal sosok calon pemimpin daerah mereka. Arttinya, masyarakat wajib tau rekam jejak para calon kepala daerahnya. Terlebih lagi soal rekam jejak hukumnya. Agar masyarakat dapat menilai calon yang akan dipilih nanti.
Selain itu, dibutuhkan kerendahan hati dari para calon kepala daerah ini untuk terbuka dan transparan soal hitam-putih sepak terjang mereka selama ini. Tak ada yang mesti ditutup-tutupi kepada masyarakat. Memang ini bukan hal yang mudah bagi mereka. Inilah nilai emas sebuah pembelajaran berdemokrasi.
Kedua, Proaktif Media. Media adalah corong kesadaran masyarakat untuk berdemokrasi. Untuk membuka ruang kesadaran masyarakat. Media berperan besar memberikan informasi yang sebanyak-banyaknya kepada masyarakat perihal rekam jejak para calon. Ini sangat diperlukan.
Asupan informasi ini membuka ruang berpikir bagi masyarakat. Masyarakat kita perlu informasi untuk menimbang baik-buruk ataupun prestasi dan kegagalan sosok calon yang akan memimpin daerah mereka. Selanjutnya, biarkan masyarakat yang memutuskan.
Ketiga, sikap Anti Korupsi dan Komitmen Parpol. Maraknya berita tentang parpol yang mengusung calon kepala daerah eks napi. Hal ini tentu menjadi pertanyaan, seberapa kuat parpol mendukung semangat anti korupsi di negeri ini?” Parpol tak boleh terjebak politik pragmatis, atau politik sesaat saja. Perlu adanya kajian yang mendalam terhadap calon yang diusulkan, apalagi yang terlibat kasus korupsi.
Sayang sungguh disayangkan, ini menandakan masih bobroknya mekanisme pengkaderan di tubuh parpol itu. Apa tidak ada lagi pemimpin lain yang layak untuk dicalonkan, selain eks napi korupsi. Saya pikir, banyak sekali pemimpin dengan segudang prestasi. Sayangnya, nama mereka tenggelam. Tak seksi untuk dilirik. Tak bohai untuk dipajang. Atau, memang sedemikian burukkah wajah politik kita. Hingga orang baik dan berprestasi menyembunyikan diri mereka dan tau mau mengotorinya dengan ikut berpolitik. Mereka pun lebih memilih untuk diam dan menonton saja atraksi panggung politik yang terlihat sudah memuakkan.
Salam Hangat,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H