Mohon tunggu...
Syafriansyah Viola
Syafriansyah Viola Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil -

suka baca fiksi dan sekali-sekali....menulis!

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Menulislah ‘Riang Gembira Penuh Canda dan Suka-suka nan Bahagia’!

16 Juli 2015   23:23 Diperbarui: 16 Juli 2015   23:23 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang, saya sedang gandrung-gandrungnya mengupas seri menulis tentang menulis. Entah kenapa. Saya tak tau sebabnya, bisa jadi mood saya menggiring ke sana. Abaikan saja. Pada tulisan sebelumnya saya sudah mengupas dari sudut pandang penulis, kali ini saya coba mengupas nada emosi tulisan. Tulisan ini adalah seri lanjutan dari rangkaian tulisan sebelumnya, silahkan baca disini dan disini.

Tulisan ini sengaja saya potong menjadi dua kotak. Kotak pertama berisi, ‘Dengarkan Kegelisahan Hati dan Menulislah’. Kotak yang lain, berisi, menulislah “Riang Gembira Penuh Canda dan Suka-suka nan Bahagia”. Menulis itu sejatinya memiliki dua sisi emosi, menulis di atas kegelisahan atau menulis di atas kegembiraan. Baiklah. Saya serahkan kepada pembaca mau menilai dan memilih yang mana.

1/ Dengarkan kegelisahan hati, dan menulislah!

Saya contohkan, diri saya sendiri. Setiap kali saya dilanda rasa resah dan gelisah, bila akan menuliskan sesuatu, apapun itu. Kalimat-kalimat menjadi sulit dipahami, plot yang berantakan, atau tema yang kekanak-kanakan. Akhirnya, tulisan pun menjadi ngawur. Itu tandanya, tak mudah menulis di atas kegelisahan. Butuh keberanian yang lebih untuk menuliskan kegelisahan hati, atau pengalaman pahit.

Saya coba merujuk ke KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, kegelisahan berasal dari kata ‘gelisah’. /ge-li-sah/ a. Tidak tentram, selalu merasa khawatir (tt suasana hati); tidak tenang (tt tidur); tidak sabar dlmenanti dsb; cemas. Sejak lama, saya tidak suka kosa kata ‘gelisah’ atau ‘kegelisahan’. Kalau bisa dicoret atau dihapus saja dalam kamus KBBI.

Saya juga penikmat kopi dan puisi. Soal kopi, nanti kita bahas di dapur saja. Yang menarik itu puisi. Puisi, menurut saya, adalah sebuah estafet kegelisahan. Estafet ini adalah loncatan perasaan yang membuncah lalu meledak, indah bila dituliskan.

Kita lihat puisi ini, (Chairil Anwar)

Ah! Hatiku tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi

Saya tak tau kegelisahan sebesar apa yang berkecamuk di dada si penyair ini. Sebesar gunungkah. Sebesar kolam kah. Yang pasti dia gelisah. Dalam kegelisahan itu dia menulis syair indah. Syair yang indah dan puisi yang suci adalah sebuah keajaiban hati. Rasa sebagai kendaraannya. Penyair, pujangga, atau apapun namanya itu, pasti sangat akrab dengan kata ‘gelisah’ ini.

******

2/ Menulis ‘riang gembira penuh canda dan suka-suka nan bahagia’

Saya suka menulis dengan metafora, perumpamaan, dan ibarat. Ini lebih memudahkan saya memahami, apa yang saya tulis. Beberapa kata yang sering saya pakai: bak, serupa, misalnya, contoh, seperti, umpama, ibarat, boleh dikata. Ini memudahkan saya untuk menyederhanakan kalimat. Fungsinya agar material yang rumit bisa dipahami sederhana.

Sesekali juga diselingi dengan pengalaman, atau ekspersi kesan. Saya menilai, saat ini, pembaca lebih tertarik dengan bagaimana reaksi subjektif penulis merespon peristiwa atau kejadian. Apakah dia mendukung atau menolaknya. Atau berusaha menunjukan sikap netral saja, tidak mendukung atau tidak menolak sekaligus.

Dari beberapa artikel asyik yang saya baca di Kompasiana, saya banyak menemukan artikel renyah dan kriyuk-kriyuk serupa kerupuk ketika digigit. Padahal topik yang diangkat lumayan berat. Ada juga yang menulis mengangkat topik sederhana, namun disulap menjadi penting dan menggugah. Saya pelajari lagi, baca ulang dan menikmati alur penuturannya. Saya menemukan keajaiban di sana.

Pertama, Gurih dan empuk. Tulisan yang gurih dan empuk dikemas dengan apik dan segar. Sifatnya fleksibel dan lentur. Kepandaian memainkan kata dan emosi yang tenang, serta menggiring pembaca dengan umpan silang humor-humor pendek, membuat sebuah tarian tulisan yang indah nan menawan. Saya coba tersenyum dan ingin tertawa, tapi saya tahan saja.

Pembaca menyukai orang-orang yang optimis. Orang-orang yang ceria. Tak seorang pun yang menyukai kegelisahan apalagi kesedihan. Alasannya sederhana, karena keriangan dan kebahagian itu bersifat menular dan membuat orang tersenyum. Senyum adalah ibadah dan dapat bonus pahala. Nah, banyak kan keuntungannya.

Kedua, Menulis type mengobrol. Inilah yang sekarang disukai pembaca. Kalo hanya menumpuk fakta yang keras dan kaku, tentu membosankan. Baca saja jurnal ilmiah, tesis, diktat atau makalah. Kalo saya sih, melihatnya saja sudah mengantuk, apalagi membacanya. Ada dialog, saling bertanya dan menjawab, atau atau ber-stand up comedy.

Tak ada kesan menghakimi, menggurui, atau seperti berkhotbah diatas mimbar. Penulisnya hanya berusaha memanggil dan mengajak ngobrol pembaca, ini lho pendapat saya. Kalo kamu bagaimana? Kurang lebih seperti itu. Selamat Menulis!

Selamat Idul Fitri 1436 Hijriah
Minal Aizin Wal Faizin
Mohon Maaf Lahir dan Batin

Illustrasi foto lihat disini

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun