Sudut Pandang (Perspektif)
Tulisan ini terinspirasi dan tergerak dari komentar koreksi pak Thamrin Sonata (TS) di kolom artikel “Tips Jitu Biar Gak Mati Ide Saat Hendak Menulis”, yang dipublish 12 Juli 2015 12:21:11 kemarin.
Pak TS berkomentar begini, “Referensi (yang Anda gunakan) mirip lirik lagu 90-an (mestinya 80-an) karya Obbie Messakh, harap dikoreksi. Itu salah satu “karya terbaik” (alm) Rinto Harahap yang dipopulerkan oleh Diana Nasution.” Saya jawab dengan teduh, begini, “Terimakasih koreksinya pak TS. Maaf, pak. Saya sangat ceroboh dalam hal referensi. Segera saya koreksi dan perbaiki. Salam hangat.”
Ini adalah ‘komentar emas’ bagi saya. Sebagai seorang anak muda yang energik, bervitalitas tinggi, penuh gairah dan berdarah panas, saya sempat terkejut juga. Kaget, maksudnya. Mungkin saya tidak perlu mengekspos ekspresi kekagetan saya di sini. Dan, itu memang tidak penting dan lebay tapi bukan rempong ya. Saya baca lagi dan crosscheck. Saya pun mengangguk-angguk. Memang betul, saya melakukan kesalahan dalam referensi tahun dan si pencipta lagu.
Ini kelihatannya adalah hal sepele dan remeh temeh. Di sini saya dapat satu pelajaran emas lagi bahwa ketelitian dan keakuratan sebuah tulisan perlu dijaga dan dikawal. Ini berguna untuk melindungi si penulis kalo-kalo mendapat serangan balik atau penolakan dari pembaca, seperti kasus gugatan kepada Tempo baru-baru ini. Di sisi lain, ketelitian dan detail juga bisa membuka sudut pandang baru dalam melihat persoalan.
Pada artikel saya sebelumnya, “Nilai Emas” Sebuah tulisan", saya juga sudah sedikit mencolak-colek betapa pentingnya sudut pandang (perspektif) baru dalam sebuah tulisan. Apabila kita melihat seperti yang orang lain lihat, maka kita tak melihat apa-apa. Anjuran ini mengajak pembaca melihat apa yang tidak dilihat orang lain lalu menuliskannya.
Menulis dengan sudut pandang baru adalah sesuatu yang sederhana tetapi sangat tidak mudah. Yuk, kita lihat seperti apa sih.
1. Kenalilah Objek Persoalan Secara Detail
Kebanyakan orang termasuk saya kadang sering mengabaikan hal-hal kecil. Mereka menilai hal itu membuang waktu dan cerewet alias nyinyir. Lazimnya, hal-hal kecil pun terlepas dari perhatian kita. Kita selalu sibuk memperhatikan hal-hal besar yang terlihat dan terdengar di permukaan saja.
Contoh, kasus klorin di pembalut wanita yang bikin heboh belakangan ini, semua orang jadi heboh. Laki-laki dan perempuan heboh. Termasuk kucing kuning besar saya juga bikin heboh di dapur, saya pun hanya geleng-geleng kepala saja liat ulah kucing saya itu. Intinya, pokok persoalan menjadi kabur, melebar ke mana-mana dan kepanikan muncul.
Dalam menulis, kita juga mesti memahami objek persoalan yang hendak ditulis secara detail dan ketelitian faktual. Jangan ditelan mentah-mentah nanti bisa muntah. Kumpulkan sumber referensi sebanyak mungkin, wawancara, informasi A1, baca dan baca lagi. Data faktual itu pilih dan pilah yang mana yang cocok dan berkaitan dengan objek tulisan. Sehingga kita mengenali betul duduk persoalannya. Sampai terdengar suara begini, “Ooo..begini toh”. Nah itu artinya kita sudah mengerti duduk persoalannya.