Mohon tunggu...
Irmawan syafitrianto
Irmawan syafitrianto Mohon Tunggu... Penjahit - ASN (KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN)

ISTIKOMAH (IKATAN SUAMI TAKUT ISTERI KALO DIRUMAH)

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"The Physician", Ibnu Sina, Bioterorisme, dan Karantina

15 September 2018   23:27 Diperbarui: 15 September 2018   23:38 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Population trap theory yang diperkenalkan oleh seorang ilmuwan ternama Thomas robert malthus (1978) menyatakan bahwa pertumbuhan populasi manusia mengikuti deret ukur, sedangkan ketersediaan bahan pangan mengikuti deret hitung. Sudah 39 tahun berlalu, namun hingga saat ini, teori tersebut belum sepenuhnya bisa dibuktikan. Ditengah- tengah keterbatasan lahan pertanian, kebutuhan terhadap pangan masih bisa terpenuhi. 

Menurut saya, Malthus belum mempertimbangkan parameter teknologi dan kreatifitas manusia. Budidaya udang supraintensif contohnya, dengan lahan sempit tapi mampu memproduksi puluhan kali lipat udang jika dibandingkan dengan budidaya sistem tradisional. Teknologi, sains dan kreasi, merupakan jembatan menuju kedaulatan. Penguasaannya bisa mensejahterakan, mententramkan, bahkan memberikan rasa aman, ibarat memiliki ribuan pasukan bersenjata lengkap.

The Physician, sebuah film yang direlease akhir tahun 2013 mengisahkan dalam sejarah Eropa, pada abad Ke-11, seni pengobatan  yang berkembang di era Romawi tidak dipakai lagi. Sehingga, tidak ada ahli medis, tidak ada rumah sakit,  hanya berobat ke tukang cukur dengan pengetahuan medis yang buruk. Pada saat yang sama di belahan dunia lain (Arab), ilmu pengobatan telah maju, mereka mengenal seni medis tersebut dengan istilah Pengobatan "saracen", Ibnu Sina sebagai tokoh pengembangnya.

The Physician, mengisahkan peperangan yang terjadi antara Shah si penguasa dari Persia melawan suku Saljuk. Ketua suku Saljuk memulai peperangan dengan mengutus penderita black death (wabah pes),  dalam hitungan 12 jam inkubasi menyebar, banyak orang tertular penyakit itu. Serangan wabah tersebut menjadikan seluruh kota mencekam. Semua penduduk ketakutan, Shah sang penguasa  mengambil kebijakan untuk menutup gerbang  perbatasan. 

Ditengah hiruk pikuk kekacauan kota Asfahan, tabib bernama Ibnu Sina dan para muridnya berhasil mengidentifikasi mikroorganisme pada tikus penyebab wabah black death dan melakukan reaksi cepat untuk menghambat penyebarannya.

Ibnu sina dan muridnya dalam mengatasi bioterorisme wabah black death melakukan upaya cerdas untuk memenangkan peperangan, sama halnya dengan yang dilakukan oleh petugas karantina di seluruh penjuru negeri.  Bioterorisme belum banyak diperbincangkan oleh kebanyakan orang di Indonesia. Namun, di negara maju, bioterorisme jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan aksi teror pada umumnya. 

Bioterorisme sering dikaitkan dengan kontaminasi terhadap bahan pangan yang sengaja dilakukan pihak tertentu untuk melaksanakan aksi teror. Di Amerika, undang-undang bioterorisme (bioterorism act) dititik beratkan pada sistem jaminan mutu dan keamanan pangan. Bioterorisme dapat diartikan sebagai aksi teror dengan menggunakan senjata biologi seperti virus, bakteri, parasit, jamur beserta senyawa beracun yang dihasilkan.

Tindak karantina modern merupakan suatu sistem jaminan yang terintegrasi berupa penerapan prinsip-prinsip bioserurity di instalasi/farm, pengujian di laboratorium yang terakreditasi, pemantauan sebaran penyakit, dan pengawasan intensif ditempat pemasukan dan pengeluaran. Karantina modern mengacu pada riset-riset ilmiah terkini yang terstandarisasi dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Karantina dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan rasa aman. aman ditinjau dari sisi kesehatan, pertumbuhan ekonomi, kelestarian biodiversitas, stabilitas politik, sosial dan budaya. Karantinawan/i dengan #SemangatBaru akan selalu berada dilini terdepan untuk melindungi sumberdaya perairan serta melawan bioterorisme.

Tulisan terbit diharian Radar Sulteng edi cetak 18 Februari 2017 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun