Mohon tunggu...
Syafina Rafa Maritza
Syafina Rafa Maritza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Halo saya fina, saya merupakan mahasiswa yang tertarik dengan isu politik dan pemerintahan yang ada di Indonesia, selain itu saya menyukai musik sebagai pelepas penat saya ketika sedang stress mengerjakan tugas.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengkaji Ideologi Bangsa Indonesia Sila Kelima dalam Perspektif Penegakan Hukum

8 Desember 2024   20:41 Diperbarui: 9 Desember 2024   14:02 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Realitanya, teori itu seringkali tidak terwujud, hukum selalu berpotensi untuk memberikan keuntungan hanya untuk orang-orang yang punya kuasa. Kita pasti sudah tidak asing dengan ungkapan penegakan hukum yang ibarat sebilah pisau, "tajam ke bawah, tumpul ke atas". Mudahnya, ketidakadilan sosial  itu bisa terlihat dari ketidakmampuan mereka (masyarakat miskin) untuk menyewa jasa advokat/pengacara untuk membantu mereka dalam persidangan.

Ada beberapa kasus yang ramai diperbincangkan, kasus ini membuktikan bahwa  hukum di Indonesia memang lancip kebawah tapi tumpul keatas. Pada 2009, Seorang nenek berusia 55 tahun dihukum 1 bulan 15 hari di penjara. Kejadian tersebut berawal dari ia yang sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo. Lahan garapannya ini ternyata juga dikelola PT RSA untuk menanam kakao. Secara sadar nenek Minah yang tiba-tiba tertarik melihat 3 buah kakao tersebut kemudian memetiknya. Namun kenyataanya, 3 buah kakao tersebut justru tidak disembunyikan melainkan diletakkan begitu saja di bawah pohon kakao tersebut. Tak berselang lama, kemudian seorang mandor perkebunan PT RSA tersebut bertanya siapa yang memetik kakao dan nenek Minah pun dengan cepat langsung mengakui perbuatannya dan meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya bahkan setelah itu 3 buah kakao tersebut diserahkan kembali kepada mandor tersebut. Namun, peristiwa kecil yang dikiranya sudah selesai tersebut malah berbuntut panjang hingga ia mendapatkan panggilan pemeriksaan dari polisi setempat. Proses hukum tersebut terus berlanjut sampai pada akhirnya ia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencurian di Pengadilan Negeri Purwokerto dan mendapatkan hukuman penjara 1 bulan 15 hari. (Detiknews, Kamis 19 November 2009) 

Meski setelah kejadian perkara nenek Minah ini, di tahun 2012 Perma mengeluarkan peraturan No 2 Tahun 2012 Tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP terkait tindak pidana ringan. Menurut saya, tidak dapat dipungkiri bahwa stigma hukum lancip kebawah tumpul keatas hilang begitu saja. Buktinya, hingga kini kasus korupsi, kekerasan, kejahatan yang dilakukan pejabat pemerintah seakan merupakan hal yang kecil, sedangkan kasus yang sebetulnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak merugikan banyak pihak malah diperumit. Para hakim jaksa, kepolisian seakan baru akan bekerja menyelesaikan kasus kejahatan pejabat pemerintah jika berita tersebut sudah tersebar luas dan netizen sudah mendesak untuk segera menghukum pelaku. Tidak jarang, ternyata para aparat penegak hukum ketahuan bersekongkol dengan pelaku untuk menyembunyikan kejahatannya. 

Terbukti, pada 1 Februari 2018 setelah adanya peraturan penyesuaian batasan tindak pidana, sebuah laman berita menuliskan terdapat kasus penegakan hukum yaitu " Nenek berusia 92 tahun divonis 1 bulan penjara karena tebang pohon durian". Dalam berita tersebut dikatakan bahwa Saulina Sitorus yang berusia 92 tahun divonis 1 bulan 14 hari penjara karena menebang pohon durian milik kerabatnya yang bernama Japaya. Pada saat persidangan, para saksi yang rumahnya berdekatan dengan lokasi tidak pernah melihat Japaya menanam pohon durian yang diperkarakan. Jadi, pada proses persidangan pun disampaikan bahwa sang nenek tidak terbukti sepenuhnya menebang pohon milik orang yang diperkarakan, sebab para saksi yang rumahnya berdekatan dengan lokasi tersebut tidak melihat si Japaya ini tadi menanam pohon durian itu ".

Maraknya sosial media memberikan ide baru bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meminta bantuan netizen mengawasi dan melaporkan jika ada anggota keluarga pejabat yang diduga memiliki harta tidak wajar dan pamer di media sosial. Sebetulnya, ini merupakan ide yang bagus dengan memanfaatkan netizen untuk bantu mengusut kejanggalan yang ada pada pejabat pemerintah di Indonesia. Dengan begitu, pejabat pemerintah juga bisa lebih waspada dan takut untuk melakukan pelanggaran. Selain itu, manfaatnya dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi aparat pemerintah yang digaji menggunakan uang negara. Namun, perlu diingat bahwa sosial media juga bisa di manipulasi dan dalam hal ini, masyarakat tentu mengalami keterbatasan untuk membantu KPK dalam proses pengawasan. Perlu adanya ketegasan dan penegakan hukum untuk menghukum seberat-beratnya pelaku tindak pidana korupsi dan kejahatan lainnya. Jangan sampai pelaku kejahatan ini bisa tetap bernafas lega padahal sudah merugikan negara. Maka dari itu, pemberian hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan yang merugikan negara perlu diterapkan agar menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Namun tetap saja, ungkapan orang berkuasa ketika punya uang dan kuasa, ini mungkin yang menggambarkan sel mewah Setya Novanto pelaku mega korupsi proyek e-KTP. Dalam acara Mata Najwa pada 2018 silam menayangkan bahwa sel Setya Novanto memiliki ukuran yang lebih luas, di dalam sel tersebut juga ada exhaust fan, lemari yang menempel di dinding, tempat tidur beserta ranjang, kamar mandi dengan kloset duduk serta shower, selain itu sel Setya Novanto tidak seperti sel lainnya yang digembok melainkan sel nya hanya digembok pada bagian selasar saja. Ini hanya ketahuan dari satu orang saja, bayangkan begitu banyak pejabat yang melakukan tindak kejahatan apakah mereka juga mendapatkan fasilitas yang lebih mewah dibandingkan dengan tahanan yang lain? 

Dari sini terlihat bukan bahwa keadilan sosial seperti yang diidealogikan pada sila pancasila belum sepenuhnya diterapkan dengan baik di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari berbagai masalah yang masih ada dalam masyarakat, seperti ketimpangan ekonomi, diskriminasi dalam akses layanan publik, serta perlakuan hukum yang tidak adil.Keadilan sosial di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Meskipun sila Pancasila menekankan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, implementasinya seringkali terhambat oleh praktik-praktik korupsi dan kurangnya transparansi dalam pemerintahan. 

Pemerintah sebagai organisasi sektor publik yang memberikan pelayanan kepada masyarakat seharusnya berperan penting dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Dengan menerapkan prinsip-prinsip etika administrasi publik yaitu keadilan, transparansi, akuntabilitas, serta berintegritas dalam setiap kebijakan yang dibuat maupun tindakan yang diperbuat. Selain itu, perlu ada upaya dari semua elemen masyarakat dan pemerintah untuk bekerja sama menerapkan prinsip-prinsip ini untuk memastikan kebijakan yang diambil mencerminkan kebutuhan dan hak setiap warga negara.

References

Haryono, Y. (2017, January). Komisi Nasional Ideologi Pancasila (Komnas Ideologi Negara): Sebuah Pemikiran. Journal of Social, Cultural, and Political Studies, 1(1), 22-36.

Purwendah, E. K., & Hartana. (2023, Maret). Konsep Keadilan Ekologi dan Keadilan Sosial dalam Sistem Hukum Indonesia antara Idealisme dan Realitas. Jurnal Pacta Sunt Servanda, 4(1).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun