Pertama-tama, saya jelaskan dulu bahwa yang saya maksud ahli hisab disini bukanlah nama salah satu ormas islam terbesar di negeri ini, yang memutuskan awal dan akhir ramadlan menggunakan metode hisab. Juga bukan orang yang ahli dalam melakukan hisab-menghisab sesuatu yang nikmat jika dihisab. Bukan pemirsa, bukan. Ini adalah tulisan tentang para penikmat asap, penikmat tembakau. Tentang bagaimana cerdasnya para perokok dalam hal ngeles.
Pembicaraan mengenai rokok termasuk pembicaraan abadi yang tidak pernah ada habisnya. Saking abadinya, seorang habib dari malang pernah mengulas perihal seorang perokok yang masuk surga. Alkisah perokok tersebut, sebut saja Gus Mul diberi hadiah untuk masuk surga, semoga ya Gus. Sebelum melewati pintu surga, dia bertanya kepada malaikat penjaga surga.
"Pakdhe malaikat, boleh nanya?"
"Silakan Gus, nanya aja. Ini udah di akhirat, gak perlu takut dihujat haters." Sang Malaikat merespon.
"Gini, di Surga nanti ada rokok ndak?" tanya Gus Mul sambil mengernyitkan wajahnya yang tampan.
"Yaa jelas ada dong Gus." Jawab Malaikat sambil tersenyum ramah. Dengan wajah berseri-seri seperti anak yang baru dapat angpao lebaran, Gus Mul masuk ke dalam surga.
Namun, baru duduk di surga selama sepuluh menit, Gus Mul marah dan menemui Sang Malaikat dan bertanya untuk kedua kalinya.
"Pakdhe Kat (malaikat), ini gimana maksud sampean?"
"Apalagi to Gus, kan sudah dapat rokok." Balas malaikat heran.
"Dapat sih dapat. Tapi nyalainnya pripuun. Wong gak ada api disini." Gugat Gus Mul.
"Heuheuheu. Kalau pengen api ya sana, ke neraka." Jawab Malaikat.
"Huaaassyyeemm!" Gus Mul menggerutu sambil berjalan balik ke tempatnya dan agak nyesel masuk surga.
Itu baru satu pembahasan mengenai rokok. Memang sih, jika membahas rokok tidak ada habisnya. Ya itu tadi. Abadi! Apalagi bagi mereka yang anti rokok. Di setiap seminar selalu membahas bahaya dan dampak rokok bagi diri sendiri, lingkungan dan sembarang kalir. Seolah-olah rokok adalah monster mengerikan melebihi ngerinya kita saat BAB dan baru sadar saat-saat terkahir kalau WCnya ternyata mampet. Adalagi seorang ustadz dari bandung, tutur katanya halus, juga pernah membahas masalah rokok. Beliau menganalogikan kurang labih seperti berikut :
Rokok satu bungkus berapa? Sebut saja 15.000. Jika sehari satu bungkus, maka sebulan bisa habis 450.000, setahun bisa habis 5.400.000. Anda sudah merokok berapa tahun? Anggap saja 10 tahun. Maka uang yang telah dipakai untuk rokok sudah mencapai 54 juta. Uang sebanyak itu kalau saja anda tidak merokok sudah bisa dipakai untuk membeli mobil. Betul tidak? (dengan nada yang khas).
Memang sekilas sangat masuk akal. Namun analogi seperti itu jika dilemparkan kepada ahli hisab yang kritis akan mendapat balasan yang sangat menohok. Alkisah, seorang perokok ditemui oleh kawannya yang tidak merokok. Kemudian kawan yang anti rokok tersebut memberi pencerahan bahwa rokok tidak ada manfaatnya, kemudian memberi gambaran sama dengan gambaran yang disampaikan olah ustad aa' tadi. Setelah panjang lebar memberi penjelasan, si anti rokok ini langsung bungkam setelah mendapat satu kalimat pertanyaan dari kawannya yang merokok. "Lha, mobilmu mana?".
Saya sendiri sebagai perokok ya tenang-tenang saja kalau ada yang mengharam-haramkan rokok. Malah saya senang sekali apabila ada yang datang kepada saya pada saat sedang rokok'an dan membahas tentang bahayanya rokok. Sambil dia memaparkan data bahaya kandungan rokok, saya terus mengembuskan asap ke wajahnya. Anda yang merokok juga dapat mencobanya, dan itu sangat nikmat sekali pemirsa!
Lagipula, kalau rokok diharamkan, tembakau dilarang. Saya sebagai penduduk (yang insyaallah) pribumi langsung teringat salah satu kota di Jawa Tengah. Kudus. Bagaimana nasibnya nanti? Kalau seandainya tembakau, rokok dilarang. Apakah gapura "Kudus Kota Kretek" harus dirubuhkan? Atau ditaruh mana lagi? sungguh-sungguh terlaalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H