Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian, atau memberikan kekuasaan padanya untuk menjadi individu. Proses individuasi hanya terjadi melalui partisipas dalam masyarakat yang berbudaya.
Bagaimanakah dengan proses kekuasaan? Proses melaksanakan kekuasaan berarti proses menguasai. Artinya, ada yang melaksanakan kekuasaan (menguasai) dan ada yang menjadi objek penguasa (dikuasai). Di sini ada hubungan subordinatif antara penguasa dan objek kekuasaan. Dengan demikian , dapat terjadi perampasan kebebasan individu atau pembatasan kebebasan individu kepada suatu otoritas atau suber kekuasaan di luar dirinya. Sumber otoritas tersebut dapat timbul dari Negara, dari kekuatan ekonomi, atau dari kelas social yang hegemonik.
Pengertian kekuasaan dalam pendidikan rupanya mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan sebagaimana yang kita lihat dari kehidupan sehari-hari. Dapat kita bedakan antara jenis kekuasaan: 1) kekuasaan yang transformatif; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif.
Dalam kekuasaan transformatiftidak ada bentuk subordinasi antara subjek dan objek, bahkan menimbulkan refleksi dari objek yang melahirkan aksi muni dari individu objek itu sendiri. Orientasi yang timbul dari aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif.
Dalam kekuasaan transmitif terjadi proses transmisi yang diinginkan oleh subjek pemegang kekuasaan terhadap objek yang dikuasai. Orientasi kekuasaan ini bersifat legitimatif. Dengan demikian, yang terjadi dalam proses pelaksanaan kekuasaan adalah suatu aksi dari subjek yang bersifat robotik, karena hanya sekedar menuangkan dalam bejana objek yang bersangkutan, yang dikenal dengan proses system banking.
Proses Domestifikasi dan Stupidifikasi
Keberhasilan proses pendidikan pada umumnya diukur dari bagaimana proses pendidikan tersebut berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh penguasa, ataupun petunjuk-petunjuk yang dibuat oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Baik guru maupun peserta didika mengikuti berbagai peraturan yang telah dirumuskan, mempelajari bahan pelajaran menuruti buku teks yang tersedia, melaksanakan ujian-ujian dan penilaian akhir dari kelas-kelas atau jenjang pendidikan yang sudah ditentukan. Inilah yang kita anggap sebagai suasana belajar yang ideal dari lembaga pendidikan yang ideal. Tetapi apakah yang sebenarnya terjadi dalam proses pendidikan tersebut? Ternyata proses yang terjadi adalah proses Domestifikasi atau penjinakan, yaitu membunuh kreatifitas dan menjadikan manusia atau peserta didik sebagai robot-robot yang sekedar menerima transmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada, sebagaimana penjinakan hewan-hewan yang pada mulanya liar menjadi hewan-hewan yang tunduk pada tuannya. Demikianlah praksis pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat untuk menjinakkan pribadi-pribadi agar patuh pada kemauan tuannya. Proses pendidikan menjadi proses domestifikasi anak manusia. Hasilnya ialah bukan pembebasan tetapi pembodohan (stupidifikasi). Proses Domestifikasi dalam pendidikan disebut juga sebagai imperialism pendidikan dan kekuasaan.
Pembodohan dalam pendidikan juga dapat terjadi dalam evaluasi pendidikan. Pengaruh tes objektif merupakan proses domestifikasi karena tidak mengajak manusia berpikir, tetapi membuat manusia memandang dunia sebagai suatu teka-teki saja. Kemampuan analitis dan mencari alternative terbaik tentunya tidak dapat diperoleh dari model evaluasi seperti ini. Tes objektif tidak mengembangkan cara berpikir manusia, bahkan melumpuhkan cara berpikir dan karakter seseorang. Tes objektif seakan-akan mengarah pada epistemology mengenai kebenaran mutlak tanpa ada alternatif karena semuanya tergantung pada objek, bukan pada perspektif subjek.
Indoktrinasi
Dengan nada sinis, Andrias Harefa (2000) mengemukakan bahwa sekolah telah dipisahkan dari soal-soal nyata sehari-hari. Ia telah berubah menjadi semacam “sekolah militer”, ajang indoktrinasi, dan “kaderisasi” manusia-manusia muda yang harus belajar untuk “patuh” sepenuhnya kepada “sang komandan”. Tak ada ruang yang cukup untuk bereksperimentasi, mengembangkan kreativitas, dan belajar menggugat kemapanan status-quo yang membelenggu dan menjajah jiwa anak-anak muda. Tak ada upaya yang dapat dianggap sebagai upaya “membangun jiwa bangsa”.