Indonesia sudah sejak lama merindukan generasi emas penulis-penulis yang mampu menggetarkan dunia lewat untaian kata-kata magis. Intelektualitas suatu negara sejatinya lahir dari pemikiran-pemikiran brilian para generasi muda yang mendobrak. Saya teringat kata-kata yang sangat menyihir dari Eka Kurniawan, penulis yang kata Indonesianis Ben Anderson "The Next Pramoedya Ananta Toer" .Â
"Percayalah, editor di penerbitan juga tak mungkin menutup diri kepada penulis pemula. Mereka sangat haus dengan bakat-bakat baru. Saya sering mendengar teman saya yang editor, menjerit-jerit histeris, jika ia menemukan penulis baru yang menjanjikan. Ingat, semua penulis terkenal dan tua, berawal dari penulis muda dan pemula."Â
Mahasiswa, yang notabene adalah pemikir, seharusnya mampu mengisi ruang kosong ini. Pertanyaan terbesarnya adalah dimana peran mahasiswa dalam mengisi geliat kepenulisan di negeri ini?
Jika kita melihat peta dunia sastra internasional, negeri ini seperti tidak mendapat tempat. Kita sudah sejak lama hanya menjadi penonton dalam panggung yang begitu masyhur dan luas tersebut. Siapa penulis kita yang berhasil mencakar dunia dengan kata-katanya? Kita hanya punya Pramoedya Ananta Toer. Sekarang? Mahasiswa terlalu sibuk dengan tetek bengek outfit sampai coffeeshop.Â
Belakangan ini saya hanya melihat beberapa nama yang dapat memuaskan hasrat membaca saya. Salah satunya adalah Felix K. Nesi. Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang tersebut benar-benar membuka mata saya untuk terus belajar menulis. Novelnya, Orang-Orang Oetimu berhasil memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018. Ia bercerita tentang Oetimu, suatu daerah di Nusa Tenggara Timur pada tahun 1990. Membaca Orang-Orang Oetimu sama nikmatnya seperti membaca novel-novel kelas dunia.Â
Apakah Felix menulis novel tersebut tanpa banyak membaca novel-novel yang sudah terkenal? Tentu tidak. Ia banyak membaca, bahkan saya yakin ia membaca buku-buku yang lebih spesial dari apa yang ditulisnya. Apa yang bisa disimpulkan disini? Sebelum menulis, Felix K. Nesi tentu saja pernah membaca novel yang lebih bagus dari apa yang ia tulis. Tulisannya benar-benar mendobrak semua kebiasaan umum negeri ini.
Adalah omong kosong jika kelas yang beberapa orang sebut "kelas kepenulisan kreatif" adalah penghasil penulis-penulis brilian. Menurut saya, dari kelas kepenulisan kreatif itulah potensi penulis-penulis pemula seakan dihancurkan tanpa tedeng aling-aling. Di situ sebenarnya yang diajarkan hanya satu, menulis mengikuti arus yang benar-benar biasa.Â
Kenapa kita tidak mencoba untuk meniru alur novelis-novelis masyhur dunia? Kenapa kita tidak mencoba belajar dari Gabriel Garcia Marquez, Milan Kundera, atau bahkan Cervantes? Kenapa kita melulu diajarkan subjek-predikat-objek? Kita harus berpikir bagaimana kita menciptakan suatu tulisan yang benar-benar keluar dari kebiasaan umum menulis di Indonesia.Â
Menurut Eka Kurniawan, yang harus diajarkan pertama-tama di kelas menulis adalah disiplin berpikir. Sejatinya menulis adalah menuangkan pemikiran kita kedalam tulisan. Sebelum menulis kita harus mengisi batok kepala kita dengan hal-hal yang baik. Untuk masalah menuangkan pemikiran ke bentuk tulisan sebenarnya itu hanya masalah teknis. Apa yang akan kita tulis tentu saja adalah hasil dari pemikiran kita entah itu dari imajinasi, buku, ataupun pendapat-pendapat orang lain.Â
Setidaknya, kita harus berwawasan luas. Apa yang akan kita tulis jika kita tidak pernah membaca? Apa yang akan kita tulis jika kita hanya melulu diajarkan teknik menulis? Â Kenali apa yang akan kita tulis. Perluas bacaan dan wawasan kita. Jangan sampai perkembangan bacaan kita stuck. Di negara-negara lain, remajanya memiliki wawasan yang sangat luas. Katakanlah ketika remaja Inggris diskusi nyaman tentang Peristiwa 9/11, saya yakin ketika kita berbicara tentang 9/11 di negeri ini, kita akan dikira membahas ujian matematika. Â
Sekali lagi, mahasiswa yang merupakan orang-orang terpelajar sejatinya harus membuka lebar wawasan dan bacaan mereka. Â Tentu akan sangat menggelikan jika seorang mahasiswa memiliki wawasan yang sangat sempit. Kita yang harus membuka wawasan bagi yang lainnya. Tingkat minat baca Indonesia yang sangat rendah seharusnya bisa terangkat oleh mahasiswa.Â