Mohon tunggu...
Syaf Anton Wr
Syaf Anton Wr Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat Kecil

Sekedar sapa untuk pembaca Kunjungi: www.lontarmadura.com www.rumahliterasisumenep.org www.maduraaktual.blogspot.com www.liliksoebari.blogspot.com www.babadmaduraline.blogspot.com www.lontarmadura.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seniman Kutu Loncat, Apa Pula?

14 Mei 2011   07:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:42 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutu loncat adalah sejenis serangga yang memiliki kemampuan merusak tanaman, khususnya pada tanaman padi. Jenis serangga ini termasuk hama penyakit yang dikatagorikan hama. Dalam dunia pertanian, jenis serangga ini sangat dimusuhi kaum petani, karena memang dalam operasinya menghancurkan hasil pertanian, dan secara otomatis menghancurkan harapan kaum tani.

Kutu loncat, bisa dianalogikan sebagai penghancur nilai-nilai karena sasaran “kejahatannya” selain pucuk daun padi muda sampai pada isi padi itu sendiri. Kebernasan padi yang menjadi tumpuan hidup kaum tani, pada akhirnya akan menghambat proses pertumbuhan tanaman padi selanjutnya. Kutu loncat, sebagai perusak proses kehidupan tanaman, tampaknya memang harus dibasmi dan dihancurkan..

Lalu apa hubungannya dengan dunia kesenian?. Kesenian sebagai wilayah kreatifitas, tentu sangat dibutuhkan kebernasan nilai. Kebernasan yang pada gilirannya menjadi kualitas, yaitu embrio yang memberikan penjelajahan nilai-nilai terhadap manusia. Apalah arti seni tanpa nilai, kecuali memang sekedar sebagai proyek dagang, tanpa mengharap nilai itu sendiri. Pada akhirnya dalam proses penjelajahan, kerap terjadi benturan antara nilai kesenian, seniman dan kebutuhan material. Dalam kondisi semacam ini, banyak diantara seniman harus mengambil inisiatif akhir diantara satu bahkan ketiganya. Ketika kebutuhan material sebagai tujuan utama, apapun yang dilakukan – selama menunjang kreatifitasnya -, jalan akhir yang ditempuh bisa menjadi “kutu loncat”

Dalam tataran kebutuhan material, kesenian tampaknya paling miskin dibanding kebutuhan kehidupan lainnya. Ketergantungan kesenian diluar kesenian sangat rawan menawarkan kemungkinan para seniman mengambil jalan pintas dan praktis. Ketika seniman memiliki kapasitas cukup dalam konsep kesenian, bukan berarti tugas seniman sebagai kreator selesai sampai disini.

Persoalan tersebut akan muncul, ketika seniman dihadapkan; bagaimana menindak lanjuti konsep keseniannya sehingga dalam eksplorasi seni nantinya bisa tercapai?. Dari sinilah seniman mulai ditantang dan diuji eksistensi dan konsistensinya, bagaimana sang seniman mampu membangun idealisme sebagai wilayah keberpihakan pada suatu kondisi yang substantial. Dalam kondisi semacam ini, seniman akan dihadapkan oleh dua dunia yang berbeda, yaitu dunia estetis, sebagai dunia kreatifitas dan dunia kapitalistis, dunia yang memiliki dimensi kuat dalam proses pengejawantahan kreatifitas.

Seni, sebagai dunia estetis memiliki citra, ciri, dan selera yang otonom. Hal ini sangat mungkin menawarkan paradigma, nilai kemanusiaan, serta nilai filosofis yang pada akhirnya memberikan pencerahan terhadap fenomena peradaban manusia. Keotonoman seni juga memungkinkan memiliki titik jelajah tanpa batas ruang dan waktu, dan selalu memberikan kemungkinan-kemungkinan yang baru. Sedang kebutuhan-kebutuhan plus yang menjadi ciri dari pembangunan material telah menjadi tanda dari sifat modernisme dengan lahirnya budaya industrialism, yang juga bersentuhan kuat dengan budaya masyarakat.

Suatu kenyataan, kebudayaan industri dalam perkembangannya selalu berafiliasi dengan kepentingan politisi dan kepentingan pasar. Pada akhirnya apa yang dihasilkan oleh kebudayaan industri adalah bentuk kesenian yang citra dan selera estetisnya selalu direkayasa berdasarkan kepentingan-kepentingan politik dan kepentingan ekonomi. Karena pengaruh kepentingan politik dan kepentingan ekonomi, maka dapat dipastikan, kesenian akan kehilangan otonominya. Dengan kata lain, kebudayaan industri yang mengarah pada kepentingan ekonomi telah melibas keotonoman dunia kesenian. Dan itu berarti pendangkalan nilai karya seni.

Lenyapnya otonomi kesenian semakin tampak jelas ketika ideologi pasar semakin dominan dalam usaha-usaha merekaya seni sebagai konsumsi massa. Dunia kesenian direkayasa sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi “sekedar” kebutuhan untuk memenuhi selera pasar, tanpa mempertimbangkan nilai estetis yang menjadi pengalaman estetis, religius, filosofis dan transcendental. Bahkan kecenderungan yang selama ini berkembang, kesenian akan dianggap berhasil bila dihadiri oleh kalangan pejabat atau institusi penentu kebijakan dunia birokrasi dan politisi.

Lalu apa hubungan dengan kutu loncat?. Indikasi lemahnya kebutuhan plus dari kalangan seniman, akibatnya ia akan mengambil jalan pintas, dengan memandang “yang penting kreasi saya tersalurkan”, meski kenyataannya produk yang dihasilkan justru makin membelenggu dirinya dalam suatu realitas yang sebenarnya sangat bertentangan dengan “dunia dalam” nya. Tapi apa lacur, kebutuhan plus – yang juga menjadi harapan merambah untuk kepentingan dapur – akan menjadi jalan keluar sebagai alternatif terakhir.

Sinyalemen ini bukan berarti persoalan akan selesai. Persoalan seniman yang pada dasarnya terlahir sebagai manusia, dalam proses kehidupannya tetap bergantung pada kehidupan sosial; kehidupan sosial dalam lingkaran antar seniman yang kemudian disebut komunitas seniman, maupun kehidupan sosial sekitar kehidupan dirinya, yang memungkinkan menciptakan “dunia baru” dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam wilayah “dunia baru” inilah, seniman (baca; oknum seniman) mulai berinteraksi dengan siapa saja, dengan cara apa saja, meski harus mengorbankan nilai-nilai estetisnya.

Beberapa kasuistis terjadinya konflik antar seniman maupun konflik antar kelompok kesenian, persoalan kebutuhan plus kerap menjadi pemicu meningkatnya suhu terjadinya konflik. Indikasi ini sebagai akibat makin menumpuknya tuntutan-tuntutan seniman yang sedemikian kuat dalam pemenuhan fasilitas, sehingga kelompok kesenian yang diharapkan menjadi media dan fasilitator para seniman, tidak dapat berkutik ketika realitas kebutuhan plus menjadi salah satu sarat mutlak untuk mengimplementasikan hasil karyanya.

Persoalan kelompok kesenian akan menjadi rumit, ketika dihadapkan berbagai ragam persoalan seniman, sementara kreatifitas kesenian sendiri pada akhirnya terlupakan, karena kelompok kesenian telah membaiatkan diri menjadi sebuah hegemoni. Umumnya persoalan paling menajam bila menyangkut tuntutan seniman untuk disediakan fasilitas berkesenian, selain memang typology seniman umumnya tidak memiliki kemampuan dalam mengatasi persoalan manajemen kesenian. Dari situasi semacam itu dalam tubuh kelompok kesenian, akan lahir konflik-konflik dan biasanya ditandai dengan arogansi seniman.

Konflik ini terus berkepanjangan, ketika oknum seniman merambah ke wilayah “dunia baru”, yaitu dunia praktis yang memungkinkan dia bisa “hidup” dan berkelanjutan. Naifnya, dalam penjelajahan ini kadang tanpa melihat apa yang akan terjadi? Dunia politik tampaknya paling rawan menawarkan kemudahan-kemudahan finansial, karena kepentingan politis lebih kuat dari pada kepentingan kesenian itu sendiri.

Bukan sesuatu hal yang baru, ketika para politisi berebutan merangkul seniman untuk menjadi “alat” propagandanya, ketika itu pula seniman mulai menafikan nilai-nilai estetisnya. Lekra merupakan contoh kongkrit ketika PKI menjadikan kesenian sebagai ujung tombak kekuatan untuk mencapai pengaruh besar dari masyarakat. Karena memang kesenian sebenarnya sangat dekat dengan masyarakat. Akibatnya, lahirlah apa yang kemudian disebut politik sebagai panglima. Problematika ini memungkinkan seniman melakukan “pembelotan”, dari wilayah komunitasnya. Dia akan bermain dengan obsesinya. Ia tidak akan peduli lagi apapun yang disandang pada kesenimanannya, meski harus menjadi seniman kutu loncat sekalipun.

Seniman kutu loncat, pada dasarnya merupakan hama bagi kelangsungan kesenian sendiri, karena dalam operasinya dia tidak lagi mempertimbangkan apa yang diakibatkan dari obsesinya. Bisa jadi loncatan-loncatan, yang awalnya berangkat dari ketidakberdayaan diri, kemudian masuk wilayah komunitas dan menggerogoti sistem-sistem yang terbangun, lalu merambah ke dunia lain yang tanpa dia sadari telah mempropagandakan diri sebagai “seniman tulen”, dengan menjual keterbatasan-keterbatasan komunitas lainnya. Seniman sebagai manusia, apapun bisa dilakukan, meski tanpa memperhitungkan nilai kemanusiannya.

Keadaan macam ini, sangat besar pengaruhnya dan berakibat buruk terhadap nilai kesenian sendiri. Seni pada akhirnya menjadi obyek eksploitasi politik; hanya politik yang sangat affirmative terhadap kekuasaan, menjadi alat legitimasi kesadaran dan kebenaran palsu yang merajalela dalam kehidupan. Keadaan semacam ini tentu mempunyai dampak sangat merugikan pada eksistensi dunia kesenian. Kesenian menjadi merosot, tak berharga, sekedar propaganda atau seni komuditas yang terkungkung dan terekayasa oleh kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi.

Tjahyono Widarmanto, penyair dan pemerhati budaya dari Ngawi, menengarai fenomena macam ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan dan kesenian-kesenian pop yang jelas akan menghancurkan apresiasi masyarakat terhadap dunia kesenian. Juga akan memunculkan perilaku budaya snobbism. “Kalau itu dibiarkan berlarut-larut, maka boleh jadi dunia kebudayaan akan meratap dan menangis, karena tak bakal mampu lagi melahirkan karya-karya besar yang monumental. Dan anak cucu kita, generasi mendatang, tak lagi menjumpai karya-karya besar sebagaimana telah dicapai para seniman, budayawan terdahulu”.

Dalam perubahan-perubahan yang ditandai dengan konflik-konflik ini diperlukan kesadaran penuh dari semua seniman. Tugas seniman hanyalah dituntut untuk melahirkan karya yang inovatif dan tidak berpihak pada satu kepentingan. Sedang tugas lembaga pemerintah yang mempunyai kekuasaan menentukan berkembang dan merosotnya proses tata kehidupan di masyarakat, sebagaimana fungsinya yaitu sebagai fasilitator tanpa intervensi dalam menentukan proses kreatif seniman. Apa jadinya bila penguasa menjadikan diri sebagai hegemoni kekuasaan dalam menentukan model kesenian? Demikian pula kalangan politisi, menyadari sepenuhnya dalam situasi seperti ini ikut bertanggung jawab memperjuangkan hak-hak kesenian, yang selama ini masih melingkar-lingkar dan dimarginalkan.

Tentu siapapun tidak berkeinginan melihat kesenian kita terjegal hanya disebabkan oleh persoalan-persoalan individu dan sebagian persoalan kelompok. Dalam memahami kondisi dan konstelasi kesenian memang perlu dibarengi pikiran jernih oleh semua pihak. Karena kesenian sendiri adalah bagian dari proses kehidupan masyarakat, yang berangkat dari kegelisahan-kegelisahan kreatif yang patut dihargai, diapresiasi dan diterjemahkan. Sampai-sampai sastrawan Taufik Ismail, ketika berkunjung ke Sumenep tahun lalu menyatakan kepada penulis, “Seandainya masyarakat, khususnya para pejabat di Indonesia mau memahami tentang dunia sastra, bangsa kita akan terbebas dari KKN”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun