Mohon tunggu...
Syafa Nuranissa
Syafa Nuranissa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

00

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Permasalahan Pemuda dalam Hubungan Percintaan di Masa Pandemi Covid-19

7 November 2020   06:07 Diperbarui: 7 November 2020   06:11 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemuda dalam konsep United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merupakan periode transisi dari ketergantungan masa kanak-kanak ke masa dewasa yang mempunyai kesadaran kemandirian atas kebebasan dalam menjadi bagian dari anggota masyarakat. Sedangkan menurut konsep Kenneth Kenniston (1971), pemuda merupakan proses transisi masa remaja dan masa dewasa, serta perjuangan antara membangun pribadi yang mandiri dan menjadi terlibat secara sosial. Pemuda menurut pandangan Kenniston dan UNESCO ini sebagai seseorang yang sudah memiliki kesadaran untuk membangun pribadi yang mandiri, serta sebagai seseorang yang dapat terlibat secara aktif dalam kegiatan sosial untuk membantu dan bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam kehidupan sosialnya, pemuda dapat beinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Proses interaksi dan komunikasi yang dilakukan secara rutin dan intensif, serta memiliki perasaan cinta dari dua jenis pemuda ini maka akan terwujud ikatan atau hubungan percintaan.

Cinta merupakan sebuah istilah yang di dalamnya dapat mengandung banyak pemaknaan dari beberapa sudut pandang. Cinta ini tergantung kepada orang yang memahaminya. Cinta mempunyai perbedaan dengan infatuasi. Maksudnya di dalam cinta terdapat relasi dominasi (subjek cinta) dan yang di dominasi (objek cinta).

Pemuda dengan memaknai dan menjalankan praksis cintanya begitu beragam, kreatif, unik, bahkan mengarahkan pada suatu bahaya atau diluar batasnya (contohnya psikopat). Pemuda dalam menjalankan praksis cintanya, ada yang hanya sebatas memenuhi hasrat sesaatnya (fakboi atau penjahat kelamin), prestise, dan bahkan sampai tingkat keseriusan (menikah).

Pandemi Covid-19 memaksa perubahan besar dalam aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hubungan percintaan. Situasi pandemic ini yang memaksa hubungan percintaan dilakukan dengan jarak jauh secara tiba-tiba, tanpa ada persiapan hati dan mental. Menjaga keharmonisan hubungan dengan pasangan dalam situasi pandemi, menjadi tantangan tersendiri untuk kaum muda. Kasus permasalahan atau konflik hubungan percintaan sering terjadi dalam masa pandemic. Permasalahan tersebut umumnya dikarenakan perasaan bosan, serta kurangnya atau kesalahan komunikasi (misscom).

"Perubahannya ya jelas ada. Ga pernah ketemuan, kurang lebih delapan bulan. Karena masing-masing sibuk pjj juga, jadi jarang chattingan, Ya jarang chattingan ini kita sering berselisih paham", ungkap TFL seorang mahasiswi salah satu Universitas di Jakarta. Jum'at (06/11/2020).

Permasalahan yang penting, sampai yang enteng pun, seperti lamanya membalas pesan menjadi permasalahan yang selalu terjadi di masa pandemic.  TFL merasa bosan, dan merasa sulit berhubungan jarak jauh. Pasalnya dengan modal chatting saja menurutnya dapat menyebabkan permasalahan karena perbedaan penafsiran. TFL juga merasa jika pasangannya berubah karena pandemic ini.

Permasalahan percintaan dalam pandemic Covid-19 juga dirasakan oleh RD (20 tahun), salah satu karyawan brand kosmetik. Beliau mengatakan jika adanya pandemic ini membuat dia dan pasangannya mengalami kegagalan atau berakhir dengan putus. RD mengatakan jika alasan dia putus karena pasangannya selingkuh akibat kurangnya komunikasi dan kebosanan yang menjadi pemicu utama perselingkuhannya semasa pandemi.

Jika melihat siklus hubungan percintaan, terdapat tiga fase didalamnya, yaitu pre-relationship, dimana seseorang mulai membangun citra dirinya secara positif, sehingga pasangan dapat jatuh cinta.

Selanjutnya in-reliationship berupa pengorbanan, dan komitmen dalam hubungan. Dalam fase menjalani hubungan ini mengalami juga titik jenuh, pertengkaran, atau konflik yang melahirkan post-reliationship yang dapat menyebabkan pemutusan untuk berpisah, tetapi tidak semua orang mengalami perpisahan. Untuk kasus permasalahan yang dialami TFL tidak melahirkan post-reliationship, TFL dan pasangan mempertahankan hubungan percintaanya, walaupun pertengkaran dan konflik sering terjadi di masa pandemi. Akan tetapi, berbeda dengan RD, dia dan pasangan melahirkan post-reliationship, akibat mengalami titik jenuh, dan konflik perselingkuhan, sehingga mereka tidak bisa mempertahakan hubungannya, dan memutuskan untuk berpisah.

Dalam pandangan George Herbert Mead dengan teori yang dikenal sebagai Interaksionisme Simbolik, konsep self-interaction Mead menganggap bahwa kemampuan untuk memberi jawaban pada diri sendiri, layaknya memberi jawaban pada orang lain. Dalam arti ini, Self bukan suatu obyek melainkan suatu proses sadar yang mempunyai kemampuan untuk berpikir, dengan mampu memberi jawaban kepada diri sendiri seperti orang lain yang juga memberi jawaban. Konsepnya tentang "I" and "Me",dimana diri seorang manusia sebagai subyek adalah "I" dan diri seorang manusia sebagai obyek adalah "Me". (Fowler,2007).

Pola interaksi yang lebih intens, yang dialami dalam hubungan percintaan menimbulkan batas yang kabur antara "I" dan "Me". Akibatnya, seseorang memposisikan pasangannya sesuai dengan pandangan dirinya terhadap dirinya sendiri. Permasalahan yang dialami TFL dan RD dengan pasangannya dalam hal ini muncul karena tingkah atau respon dari pasangan dari TFL dan RD tidak sesuai dengan ekspetasi dari mereka. Point ini menunjukkan bahwa "Me" dari pasangan mereka tidak sesuai dengan self konsepnya TFL dan RD  sebagai "I".

Beragam permasalahan-permasalahan yang dirasakan bahkan dialami oleh TFL dan RD memberikan gambaran bahwa cinta merupakan hal yang rumit atau tidak mudah terutama di tengah pademi seperti ini. Hal ini disebabkan karena pemuda memiliki karakteristik, sifat, dan pemikiran yang berbeda-beda. Maka alasan ini pula yang menyebabkan sebuah hubungan percintaan juga pasti akan berbeda pada setiap pemuda yang menjalaninya.

Alangkah lebih baiknya jika kaum muda dapat menurunkan ego masing-masing untuk meminimalisir permasalahan atau konflik yang terjadi agar hubungan percintaan tetap terjaga di tengah situasi pandemic. Perlu adanya strategi atau siasat untuk mempertahankan suatu hubungan percintaan, seperti lebih memberikan perhatian terhadap pasangan, serta segera selesaikan konflik yang terjadi, tetapi dengan video call supaya tidak terjadi kesalahan penafsiran jika menggunakan chat. Dengan seperti itu hubungan percintaan akan berjalan dengan baik, hingga pandemi ini berakhir.

Refrensi

Laksmi. (2017). Teori Interaksionisme Simbolik dalam Kajian Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Journal of Library and Information Science. Vol 1, Number 1, 2017

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2009). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun