Nama: Syafa Meldi Camila PutriÂ
NIM: 43122010173
Nama Dosen: Apollo, Prof.Dr, M Si.Ak
Apakah saya ingin bahagia? Ya tentu saja. Bahagia menurut saya adalah suatu sifat yang memiliki energi positif dengan aura yang senang. Jadi kebahagiaan itu akan tercapai jika kita mampu memenuhi apa yang kita mau maka energi positif akan tercapai yaitu bahagia. Manusia bahagia jika mereka merasa tujuan yang ingin mereka capai bisa berhasil, maksud tujuannya bukan hanya mengejar harta tetapi bisa impian atau seseorang.
Eudaimonia merupakan sejarah Pra-filosofis Yunani kuno. Eudaimonia merupakan karya dari Aristoteles yang melambangkan istilah kebaikan dan kebahagiaan. Bagi Aristoteles kebahagiaan dan kesejahteraan adalah tujuan utama hidup. Namun ada yang menentang Eudaimonia Aristoteles. Siapa saja yang menentang?. Salah satunya adalah Epikuros. Epicuros menolak konsep eudaimonia Aristoteles karena dia memiliki pandangan berbeda tentang sumber dan sifat kebahagiaan.
Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan atau eudaimonia terletak pada perkembangan kebajikan moral dan intelektual. Baginya, kebahagiaan adalah hasil hidup selaras dengan alam dan mencapai potensi manusia sepenuhnya. Aristoteles menekankan pentingnya bertindak bijaksana, adil, dan berani, serta mengembangkan kemampuan intelektual dan pengetahuan.
Epicuros, di sisi lain, memiliki pandangan kebahagiaan yang lebih hedonistik. Bagi Epicuros, kebahagiaan terdiri dari memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit. Dia berpendapat bahwa arti hidup yang sebenarnya adalah menjalani hidup yang bebas dari rasa sakit fisik dan mental. Epicuros percaya bahwa kebajikan dan kebijaksanaan saja tidak cukup untuk mencapai kebahagiaan abadi.
Epicuros menekankan pentingnya hidup dengan kendali dan kebijaksanaan untuk menikmati kesenangan. Baginya, kesenangan yang dia kejar adalah kesenangan jangka panjang yang sederhana, bukan kepuasan materi atau pengalaman langsung. Pandangan yang berbeda ini membuat Epicuros menentang konsep eudaimonia Aristoteles, yang menekankan pengembangan kebajikan moral dan intelektual sebagai jalan menuju kebahagiaan. Kebahagiaan baginya terdiri dari mencapai kesenangan dengan bijak dan menghindari penderitaan.
Pemikiran Eudaimonic didasarkan pada pandangan bahwa realisasi penuh dari sifat manusia mengarah pada kehidupan yang bahagia dan berbudi luhur. Banyak yang mempertanyakan gagasan bahwa manusia pada dasarnya berbudi luhur dan baik hati, dan bahwa mereka berusaha untuk memelihara dan mengembangkan bakat mereka. Â Penulis dan ahli teori yang mendeskripsikan sifat manusia dengan istilah yang paling negatif. Beberapa melihat manusia lebih egois dan hedonistik daripada berbudi luhur dan berkembang. Karena masyarakat lebih positif jika dibesarkan dalam lingkungan yang positif , jika tidak akan timbulah sifat yang lain yaitu negatif seperti egois.
Menurut gambar dari presentasi dosen saya yaitu Apollo, Prof.Dr, M Si.Ak bahwa ada tiga tipe kebahagiaan yaitu harta, nikmat prestasi nama baik. Tipe pertama adalah harta ,bagi Aristoteles bahwa harta hanya merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan manusia .Harta dalam maksud kekayaan harta pada zaman eudomonia yang ditarik ke zaman modern bahwa peningkatan kekayaan materi itu merupakan kebahagiaan dan kesejahteraan. Tapi banyak asumsi di zaman sekarang yang mengatakan bahwa kekayaan tidak bisa memberikan kebahagiaan atau kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan harta. Banyak pro dan kontra dalam segmen tersebut. Dan bisa diasumsikan bahwa masyarakat menengah ke atas akan berpikir bahwa, benar adanya jika harta tidak memberikan kebahagiaan, bagaimana jika memiliki banyak uang tetapi hidupnya tidak bahagia mungkin segmen tersebut dikeluarkan dari orang menengah atas. Pada akhirnya masyarakat menengah bawah menepi segmen tersebut dikarenakan jika ingin bahagia pasti memerlukan uang yang banyak masyarakat menengah atas yang bilang kalau uang tidak bisa memberikan kebahagiaan adalah suatu kebohongan dikarenakan untuk pergi berlibur saja harus memerlukan uang, lalu bagaimana dengan segmen memiliki kasih juga merupakan kebahagiaan ,bahkan kekasih kalian saja memberikan kebahagiaan kalian dengan uang. Jadi bagi kaum menengah ke bawah menyatakan bahwa hidup harus dengan uang. Karena kebahagiaan memberikan kesejahteraan dan kesejahteraan akan menciptakan kebahagiaan.
Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa harta atau kekayaan merupakan suatu hal yang bahaya, kekayaan yang berlebihan juga dapat menghancurkan diri sendiri dan hanya obsesi. Jadi menurut Aristoteles kekayaan itu harus beriringan dengan etika
Kekayaan tidak dapat dihitung secara terpisah dari eudaimonia dan ditambahkan ke dalamnya untuk menciptakan senyawa yang 'lebih baik'. Ini tidak berarti bahwa kekayaan adalah bagian sebenarnya dari eudaimonia. Sebaliknya, itu hanyalah syarat penting untuk keberadaan eudaimonia. Ini dapat dengan mudah dikacaukan dengan eudaimonia
Kekayaan bagi sekarang mungkin membawa sejumlah kenyamanan material dan ketenangan pikiran, sementara lansekap membawa kepuasan dan kebahagiaan. Keamanan finansial menyediakan akses ke perawatan medis yang memadai, pendidikan berkualitas, pilihan gaya hidup, dan pengalaman positif lainnya.
Namun, penting untuk dicatat bahwa kekayaan materi bukanlah satu-satunya penentu kebahagiaan Ada banyak faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan, seperti kualitas hubungan sosial, kehidupan keluarga yang harmonis, kepuasan kerja, kontribusi sosial, dan aspirasi pribadi yang berarti. Selain itu, aspek psikologis seperti rasa syukur, kepuasan diri, dan menjalani hidup yang bermakna juga berperan penting dalam mencapai kebahagiaan.
Selain itu, penting untuk menyadari bahwa kekayaan materi dapat berdampak negatif pada kesejahteraan, terutama jika digunakan dengan cara yang tidak sehat atau menjadi sumber stres, keserakahan, dan frustrasi yang tak terpuaskan. Jadi, sementara kekayaan materi dapat menghasilkan tingkat kebahagiaan tertentu, kebahagiaan sejati dan tertinggi bergantung pada banyak faktor yang lebih kompleks dalam kehidupan individu, termasuk aspek sosial, emosional, dan psikologis.Â
Lalu masuk tipe kedua yaitu nikmat, nikmat adalah pemberian, apakah pemberian membuat hidup menjadi lebih bahagia? mungkin maksud nikmat kepuasan yang menyenangkan hati, kebahagiaan akan memberikan nikmat hidup karena menurut Aristoteles bahwa kebahagiaan adalah tujuan utama hidup. Aristoteles menyebut kebahagiaan diberkati, sakral. Ini mungkin menunjukkan bahwa dia berpikir di sini tentang meditasi, suatu kegiatan yang dia gambarkan sebagai sesuatu yang suci. Bahkan jika kebahagiaan tidak dikirim oleh Tuhan, tetapi diperoleh melalui keunggulan atau semacam pembelajaran, karunia dan tujuan keunggulan adalah yang tertinggi, dan tampak sakral dan diberkati.
Tampaknya menjadi salah satu yang paling sakral karena sepertinya menggarisbawahi bahwa kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan karakter yang baik, dan bahwa orang yang bahagia sangat berbeda dengan mereka yang memiliki karakter yang baik. Jika adil dan berani untuk mengagumi hal-hal seperti itu, jelas yang terbaik bukanlah yang terpuji, tetapi yang lebih besar dan lebih baik. Karena kami menyebut para dewa diberkati dan bahagia, dan orang yang paling berbudi luhur diberkati. Hal yang sama berlaku untuk produk. Tidak ada yang merayakan kebahagiaan seperti keadilan, tapi kami menyebutnya sakral dan lebih baik daripada diberkati.
Kegembiraan yang datang dari menjalani kehidupan yang baik dan mencapai potensi manusia sepenuhnya. Aristoteles melihat kesenangan sebagai faktor kunci dalam mencapai kebahagiaan, tetapi bukan sebagai tujuan akhir yang harus dikejar secara terpisah. Bagi Aristoteles, kesenangan bukan hanya kesenangan sementara atau kesenangan tubuh belaka, seperti kepuasan makan, minum, atau hiburan semu. Kegembiraan, menurut eudaimonia, berkaitan dengan kepuasan yang didapat dari menjalani kehidupan yang bermakna dan penuh kasih.
Kesenangan dari eudaimonia dapat dihasilkan dari kepuasan kebutuhan intelektual seperti . Perolehan pengetahuan baru, pemahaman yang lebih dalam, kegiatan berpikir yang memuaskan. Hal ini terkait dengan kebajikan intelektual yang menurut Aristoteles penting untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu, niat baik juga terkait dengan kebajikan moral dan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang bertindak adil, bijak, murah hati, atau berani, mereka dapat mengalami kepuasan dan kebahagiaan batin yang bertahan lama.
Dalam konteks eudaimonia Aristotelian, kesenangan bukan hanya pengejaran kesenangan sesaat, melainkan hasil dari realisasi potensi manusia, mengembangkan kebajikan, dan menjalani kehidupan yang seimbang dan terintegrasi. Kegembiraan menjadi bagian integral dari kebahagiaan yang langgeng dan mendalam, yang dicapai melalui kehidupan yang benar dan bermakna.
Tipe ketiga yaitu nama bayi prestasi dengan mempunyai nama yang baik dan dikenang oleh masyarakat pasti akan merasakan sensasi yang bahagia dan merasa puas jika banyak yang mengetahui namanya dan dirinya. Prestasi pun memberikan kebahagiaan tapi tidak mudah dicapai harus melewati banyak rintangan atau ada pepatah yang mengatakan berakit-rakit dahulu berenang-renang kemudian, maksudnya yaitu bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Jika prestasi sudah tercapai maka kebahagiaan pun datang. Namun keunggulan juga tidak sempurna jika keunggulan juga kehormatan yang bergantung kepada orang lain itu juga tidak bisa disebut bahagia. Kita mengira itu merupakan hal yang bahagia,
Bagi Aristoteles, kebahagiaan bukanlah tujuan jangka pendek dan mudah, melainkan proyek seumur hidup. Dia percaya bahwa suatu kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui pengembangan diri yang berkelanjutan dan realisasi penuh potensi manusia.
Terima penekanan Aristoteles pada fakta empiris. Jadi bukan berarti kita semua mencari kesenangan dan keunggulan demi kebahagiaan, tetapi mereka yang menerima bahwa eudaimonia adalah sebuah kontemplasi adalah mereka yang mencari kesenangan dan keunggulan untuk diri mereka sendiri, selain berjuang untuk diri mereka sendiri. Saya berpendapat bahwa itu benar. Layak untuk kontemplasi, untuk kontemplasi.
Jadi menurut Aristoteles, kebahagiaan adalah tujuan utama kehidupan manusia dan tujuan dari semua usaha dan tindakan kita. Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan bukan hanya kegembiraan atau kepuasan sementara, tetapi keseluruhan keadaan saat seseorang hidup sesuai dengan potensi dan tujuan hidupnya. Aristoteles berpendapat bahwa kekayaan materi dan kesenangan fisik saja tidak dapat mencapai kebahagiaan. Sebaliknya, kebahagiaan adalah hasil pengembangan potensi intelektual dan moral seseorang. Ia percaya bahwa manusia memiliki akal (akal) yang membedakannya dengan makhluk lain, dan menjelaskan bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan mengembangkan dan memaksimalkan akal tersebut. Aristoteles berpendapat bahwa kita harus hidup dalam keadaan seimbang dan harmonis agar bahagia. Ini berarti menjalani kehidupan yang bermakna berdasarkan prinsip-prinsip etika dan mulia. Aristoteles menganggap kebajikan moral seperti kebijaksanaan, keberanian, kemurahan hati, dan kerendahan hati sebagai faktor penting dalam mencapai kebahagiaan. Kebajikan moral harus menjadi suatu kebiasaan yang lahir dari praktik dan kebiasaan baik. Lebih lanjut, Aristoteles juga menekankan pentingnya hubungan sosial dalam mencapai kebahagiaan. Dia berpendapat bahwa kehidupan komunitas di mana persahabatan, keadilan, dan kasih sayang timbal balik dapat dibagi merupakan faktor kunci dalam mencapai kebahagiaan. Bagi Aristoteles, kebahagiaan adalah pencapaian tertinggi dan puncak kehidupan manusia. Hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan potensi rasional dan moral, hidup beretika dan membangun hubungan sosial yang baik.
Konsep eudaimonia Aristoteles mungkin terkait dengan kasus di Indonesia dapat diterapkan secara universal yang mengacu pada kebutuhan akan kehidupan yang bermakna dan memenuhi potensi manusia. eudaimonia dapat diartikan sebagai upaya untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan mencapai potensi manusia yang lebih tinggi. Ini termasuk mengembangkan kebajikan moral dan intelektual, menemukan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan, dan berkontribusi pada kebaikan bersama.
Contoh kasus penerapan yang bisa dikaitkan di Indonesia dengan eudamonia seperti ,mengembangkan pendidikan yang bermutu dan merata bagi seluruh warga negara dapat memberikan kesempatan yang sama untuk memperluas pengetahuan dan potensi manusia. Pendekatan holistik untuk pendidikan yang mencakup pengembangan karakter dan kebaikan moral membantu mencapai eudaimonia individu dan masyarakat. Lalu mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi adalah langkah penting dalam mencapai eudaimonia. Melalui kebijakan yang berfokus pada pemerataan kesempatan, peningkatan akses ke layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi, upaya untuk mencapai kehidupan yang bermakna dan memenuhi potensi manusia dapat ditingkatkan. Yang terakhir tapi bukan akhir adalah perlindungan hak asasi manusia, dan keberagaman merupakan faktor penting dalam mencapai eudaimonia. Memastikan akses yang adil terhadap keadilan, kesempatan, dan perlindungan hak asasi manusia untuk semua warga negara adalah langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan memenuhi potensi manusia.
Jadi eudaimonia Aristoteles bisa menjadi hal yang posotof bahkan untuk kehidupan sekarang seperti  menjalani kehidupan yang bermakna, memenuhi potensi manusia, dan mencapai kebahagiaan abadi  pada pengembangan kebajikan moral dan intelektual. Bagi eudaimonia, hidup lebih dari sekadar kesenangan dan kepuasan sementara. Dengan mengejar tujuan hidup yang bermakna, kita dapat mengalami kepuasan dan kepuasan yang lebih besar dalam hidup dan menjadi suatu nikmat dan kebahagiaan. Termasuk perbuatan baik, keadilan, keberanian, kebijaksanaan dan wawasan. Mengembangkan kebajikan ini dapat memperkaya individu dan meningkatkan hubungan yang lebih baik dengan orang lain dan membangun hubungan yang bermakna, individu dapat merasakan pencapaian dan meningkatkan kualitas hidup mereka di kehidupan bersama.
Daftar pustaka:
Richard M Ryan,Frank Martela. (2016). Eudaimonia as a way of living: Connecting Aristotle with self-determination theory. Retrieved from google schollar: https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=eudaimonia+aristoteles&btnG=#d=gs_qabs&t=1687016029504&u=%23p%3DSJlQZouFcs4J
Sedley, D. (2006). Aristotle on eudaimonia in nicomachean ethics 1. In Oxford Studies In Ancient Philosophy 30 (pp. 127-153). New York: United States by Oxford University Press Inc., New York.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H