[caption id="attachment_328785" align="aligncenter" width="360" caption="berikan hak tontonan anak (sumber foto: kompas.com)"][/caption]
Setiap hari media menayangkan adegan kekerasan dan tindak asusila hampir tanpa sensor. Mulai dari berita pembunuhan, kekerasan pelajar, tawuran antar kampung hingga maraknya geng motor. Berita pagi, siang bahkan sampai dini hari tidak jarang isi pemberitaan media tidak lepas dari hal- hal tersebut. Seperti tidak ada yang baik dari bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai ideologinya.
Belum lagi sinetron-sinetron yang kurang bermutu mau tidak mau akan menjejali kita. sebagai pemilik kedaulatan frekuensi udara, rakyat tidak mempunyai kewenangan memilih program acara. Lembaga yang berwenang mulai dari Kementerian Komunikasi dan Informasi dan Komisi Penyiaran Indonesia tidak bertaji menertibkan media. Peran pasif, menunggu ada keberatan dari rakyat baru bertindak menertibkan. Padahal rakyat telah memberikan mandat kepada lembaga yang berwenang, agar menyeleksi program televisi.
Aturan Mengikat
Tayangan televisi yang tidak mendidik bisa ditertibkan dengan membuat aturan yang tegas dan mengikat. Lembaga berwenang bisa melakukan pembatasan siaran yang mengandung kekerasan dan tindak asusila. Misalnya tayangan yang mengandung kekerasan, pembunuhan dan tindak asusila hanya diperbolehkan tayang 3 kali sehari selebihnya berita prestasi atau sikap keoptimisan anak bangsa. Jika tidak dipatuhi, hukum stasiun televisi dengan tegas dan tidak memainkan. Dengan demikian rakyat, terutama anak dibawah usia 17 tahun mendapatkan tayangan yang menanamkan rasa optimis. Bukan seperti sekarang yang membuat rasa pesimis dan minder anak bangsa karena tayangan yang negatif.
Mengingat pengaruh tayangan televisi berdampak secara seketika dan cepat, berbeda dengan media cetak pengaruhnya tidak langsung masih membutuhkan waktu untuk mencerna. Hal ini bisa dibayangkan, tayangan negatif yang terus diputar akan mempengaruhi pikiran penonton. Bahkan seakan memberikan ide untuk melakukan hal negatif seperti membunuh dengan cara mutilasi, hal ini belakangan semakin marak terjadi. Tawuran pelajar dan geng motor memberikan ide bagi warga yang ada di daerah-daerah setelah menonton dan lain sebagainya.
Seperti peristiwa yang masih hangat yang menimpa siswa sekolah dasar di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ketika jam pelajaran seorang siswa di bully secara fisik di pojok kelas oleh teman-teman se kelasnya. Menurut penulis peristiwa bullying yang menimpa ini akan mempengaruhi pelaku dan korban. Pelaku, hemat penulis terpengaruh tayangan televisi yang ditonton karena terbatasnya bahkan tidak ada tayangan untuk usia anak-anak. Terpaksa menonton tontonan orang dewasa, dampaknya mentalnya meniru tanpa memikirkan efek kedepan. Pelaku bisa dibilang juga korban tayangan televisi. Sedangkan korban mentalnya akan tergoncang, ada dua kemungkinan menjadi pendendam dan akan melakukan hal serupa dengan mencari korban yang lemah atau menjadi penakut yang mengurung diri.
Perlu dipikirkan bersama solusi dengan memberikan hak anak mendapatkan tayangan yang sesuai dengan usia mereka. Rasa optimis perlu ditanamkan sejak dini agar mental bangsa semakin berani dan tidak minder. Tidak perlu menunggu tumbal aset bangsa yang berharga hilang sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H