Para pangeran ikut berjoget mengikuti penari-penari gemulai di tengah arena. Sudah biasa minuman sejenis ciu pun dihidangkan di dalam pesta semacam itu. Beberapa terkapar ikut larut dengan irama tetabuhan yang memikat hati disertai sedikit kehilangan kesadaran oleh beberapa sloki minuman beralkohol.
Duryudana mengajak Yudistira dan kawan-kawan untuk main kartu di suatu arena. Dia mengatakan belum pernah dan tidak bisa main kartu, namun Sengkuni membujuk dan mengajarinya bagaimana cara main kartu.Â
Beberapa saat belajar, ternyata dia cukup cerdas dan cepat memahami bagaimana memainkan kartu. Sampai larut malam mereka main kartu, Duryudana dan beberapa adiknya pun merasa ngantuk dan izin menyusul adik-adiknya yang lain tidur di bungalownya. Tak lama kemudian, Yudistira dan adik-adiknya pun akhirnya menuju tempatnya untuk beristirahat.
Melihat adik-adiknya dalam keadaan antara tidur dan terjaga, mungkin mereka merasa capai setelah mengikuti lomba-lomba di siang hari tadi, Yudistira belum merasa hendak memejamkan mata. Masih ia ingat bisikan paman Widura sesaat menjelang keberangkatan, bahwa ia dan saudara-saudaranya harus selalu berhati-hati dan waspada di tempat peristirahatan sebab pamannya itu merasakan sesuatu yang tidak enak.
Lepas tengah malam di kala suasana sangat terasa sunyi, ia merasa agak aneh, sebab sama sekali tidak ada penjaga atau panitia yang berjaga di sekitar pondok. Mungkin karena tempat ini terlalu jauh dari istana, sehingga terlalu sedikit pengawal mengikuti atau banyak sudah tertidur karena kecapaian acara di siang hari, pikirnya.
Tiba-tiba seseorang secara sangat pelan mengetuk pintu pondokan, dan demi mendengar itu Yudistira segera membukakan pintu. Orang itu mengaku diutus oleh Widura dan mengatakan agar dia, istrinya, ibu, dan adik-adik untuk segera ikut dengannya, dan menyampaikan bahwa semua benteng tepi kompleks pesanggarahan sudah terbakar.Â
Ia membangunkan mereka yang sudah tertidur dan membawa barang-barang yang mudah dibawa saja. Segera mereka mengikuti utusan itu. Orang itu minta semua berjalan agak mengendap-endap dan tidak berbicara, di tengah api yang sudah mulai berkobar melalap ke bangunan-bangunan kompleks terbuat dari kayu.
Setelah berjalan beberapa saat sampailah ke semak-semak di antara pepohonan dan di situ terdapat sebuah lubang cukup besar untuk ukuran sehingga seseorang dengan badan tinggi besar pun bisa masuk. Mereka kemudian berjalan melalui terowongan setelah menutup kembali lubang pintu masuk dengan berbagai kayu dan batu yang sudah disiapkan. Diterangi obor terbuat dari daun-daun kering yang diikat, mereka menyusuri terowongan dengan banyak kelokan dan persimpangan. Tibalah mereka di suatu pintu gua yang ternyata merupakan salah satu lokasi tambang.
Di sana sudah menunggu Widura yang sedang berdiri mengamati kobaran api di kejauhan sedang melalap kompleks dan tampak menyala menerangi langit. Yudistira dan rombongan ikut terkejut bahwa api itu sangat besar sedang melalap habis semua bangunan yang baru saja mereka tinggalkan. Widura kemudian menyampaikan, dari tempatnya itu ia bisa melihat bahwa nyala api bermula dari seluruh pinggir benteng kompleks, yang patut diduga itu sengaja dibakar secara serentak. Di tengah kobaran api sekeliling benteng kompleks, barulah kemudian api merembet membakar bangunan-bangunan yang berada di tengah.
Ibu Kunti tidak bisa membayangkan, bagaimana dia beserta putra-putra seandainya tidak ada orang yang menolong di tengah kobaran api demikian besar yang melalap bahan-bahan mudah terbakar. Ibu dan putra-putra sepakat bahwa kompleks itu sengaja dibakar, mungkin oleh saudara-saudaranya sendiri untuk menyingkirkan mereka agar tahta kerajaan tidak jatuh kepada Yudistira. Saat Widura mengajak mereka untuk pulang ke Astinapura, mereka tidak mau dan hendak melanjutkan hidup di tempat lain saja.
Widura mengusulkan ada bekas tambang yang sudah ditinggalkan namun masih ada beberapa fasilitas sekedar untuk berteduh dari terik matahari dan di kala hujan. Jauh dalam suatu hutan di negeri bukan lagi wilayah asli Astina, namun wilayah kerajaan taklukan karena kalah perang dan istananya sudah habis dibakar. Mereka diantar menuju tempat itu oleh anak buahnya sementara Widura kembali lagi ke Astinapura.