Pendahuluan: Jejer Astina
Syahdan, Prabu Drestarastra raja dari kerajaan Astina sedang mengadakan rapat kabinet paripurna, yang dihadiri oleh seluruh menteri dan pembesar kerajaan. Beliau merasa sudah saatnya lengser jabatan dan hendak mengembalikan tahta kepada yang berhak. Sesuai konstitusi, bahwa yang berhak untuk mewarisi kedudukan sebagai penguasa adalah putra sulung Pandu, yaitu Raden Yudistira.Â
Setelah ia mempersunting Dewi Drupadi, paduka menganggap bahwa ia sudah layak memegang tampuk pemerintahan. Sontak kehendak raja ini memicu kegaduhan di kalangan putra-putra raja yang berjumlah seratus orang. Cerita perseteruan kedua bersaudara pun mulai dari sini hingga perang besar yang disebut Baratayuda.
Dinasti yang Ruwet
Yudistira dan keempat saudaranya, yakni Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa adalah putra-putra Pandu, raja Astina sebelumnya. Pandu adalah adik kandung Prabu Drestarastra yang sekarang sedang berkuasa, di mana raja ini berputra Duryudana dan adik-adiknya yang berjumlah 99 orang. Jadi, Yudistira dan Duryudana adalah saudara sepupu mempunyai kakek yang sama, yaitu Prabu Abyasa, raja yang digantikan oleh Prabu Pandu. Abyasa memiliki 3 putra, yaitu Drestarastra terlahir tuna netra, Pandu lahir dengan muka pucat, dan Widura. Ketiganya lahir dari ibu yang berbeda.
Prabu Sentanu, raja sebelum Abyasa, memiliki putra mahkota Raden Bisma. Setelah Sentanu lengser, seharusnya Bisma yang berhak menggantikan, namun dia tidak bersedia memegang amanah duduk sebagai raja, dan memilih hidup sebagai ulama dan bapak bangsa. Seharusnya putranya Citranggada, putra Sentanu dari Durgandini istri kedua, menggantikannya, namun ia meninggal selagi masih muda, maka urutan pengganti selanjutnya adalah adiknya yaitu Citrawirya. Namun apa daya, Citrawirya tidak lama setelah menjabat juga wafat, dan meninggalkan 2 orang istri.
Durgandini, seorang janda, sebelum dinikahi Sentanu, sudah mempunyai anak Abyasa, hasil perkawinan dengan seorang ulama Parasara. Setelah Durgandini pisah dengan Parasara, dinikahi oleh Sentanu sebagai istri kedua, dan berputra Citranggada dan Citrawirya.
Atas usulan ibunya, Durgandini, Abyasa yang sedang menjalani sebagai rohaniwan di sebuah gunung, diminta pulang ke istana untuk menggantikan Citrawirya yang baru saja wafat. Pada awalnya ia tidak bersedia, sebab lebih suka menjalani hidup di gunung dan alam bebas. Durgandini mengutus kedua istri mendiang Citrawirya, yakni Ambika dan Ambalika  ke gunung untuk membujuk agar Abyasa bersedia pulang.
Saat bertemu dengan Abyasa, keduanya tidak menyangka bahwa keadaan Abyasa sangat berbeda dengan sebelumnya saat meninggalkan istana. Hidup di gunung dan tinggal di gua, badan kucel, keringat bau, pakaian kumel, jarang mandi, rambut panjang tidak dipotong atau disisir, tidak berbeda dengan seorang gelandangan. Melihat kondisi ini Ambika sampai-sampai harus menutup mata saat berbicara. Demikian juga Ambalika berbicara sambil memalingkan muka.
Entah karena kepintaran mereka berdua atau sebab lain, akhirnya Abyasa bersedia pulang kembali ke istana dan memenuhi kata-kata ibunya untuk menjabat sebagai saja menggantikan adiknya. Bak peribahasa, sekali rengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui, atas kehendak dan perintah ibunda, ia naik tahta sekaligus menikahi kedua janda mendiang adiknya. Tak lama setelah naik tahta, Prabu Abyasa tak kuat melihat keindahan tubuh mbak ART (asisten rumah tangga) dari Ambalika, bernama Datri, sehingga dinikahi juga. Hasil pernikahan dengan Ambika berputra Drestarastra, dengan Ambalika berputra Pandu, dan dengan Datri berputra Widura dengan kaki pincang saat berjalan.
Setelah ia merasa ketiga putra cukup dewasa, Abyasa hendak melanjutkan lagi kehidupan semula yaitu hidup di gunung mendekatkan diri dengan alam. Drestarastra sebagai anak sulung adalah pewaris kerajaan, namun ia menyatakan tidak bersedia dinobatkan sebagai raja.Â