Pendahuluan
Raden Karna menjabat sebagai salah satu menteri dari pemerintahan di kerajaan besar Astina. Kerajaan besar wayang  yang beribukota di Hastinapura ini secara turun-temurun dipimpin oleh seorang raja besar, di mana salah satu raja besar adalah Prabu Suyudana atau Duryudana. Menurut catatan, negeri ini sangat makmur dan memiliki kekayaan alam sangat besar, sehingga raja dan segenap kerabat dan para pembantunya bisa hidup berkecukupan bahkan bergelimang harta. Hampir di setiap sudut jalan tersedia warung teh dan kopi tempat di mana rakyat kerajaan dapat melepas lelah sambil ngobrol setelah bekerja di sawah, kebun, maupun home industry.
Kementerian Perang
Kerajaan Astina memiliki beberapa kementerian, semisal kementerian pertanian, industri, pariwisata, pendidikan, keagamaan, dan tidak ketinggalan adalah kementerian perang. Tentu saja masing-masing kementerian dipimpin oleh seorang menteri yang masih merupakan kerabat raja. Ini hal biasa saja, tokh, di semua kerajaan juga berlaku demikian. Tidak akan mungkin seorang raja memberikan kekuasaan dan kewenangan besar bukan pada kerabat sendiri karena menyangkut keselamatan, tanggung jawab, dan kendali kekuasaan.
Dalam rangka pembagian tugas dan kewenangan, raja mengangkat seorang mahapatih dengan tugas pokok dalam bidang pengawasan sekaligus kesekretariatan kerajaan. Tentu ada banyak tugas dan fungsi (tusi) bagi mahapatih yang bersifat agak teknis sesuai undang-undang kerajaan. Uniknya, mahapatih ini juga mengemban tusi sebagai panglima pasukan apabila sedang melakukan agresi ke negara lain. Sudah cukup lama Raden Sengkuni menjabat sebagai mahapatih kerajaan, karena dinilai sangat cekatan dan selalu mampu membuat raja merasa puas atas kinerjanya.
Keunikan lain dari kemahapatihan kerajaan Astina adalah mereka ketitipan saudara-saudara raja yang berjumlah 99 orang untuk mengisi berbagai posisi dan jabatan di dalamnya, semisal kepala staf, komandan pasukan berkuda, komandan batalion artileri, komandan kompi pelempar tombak, dan sebagainya. Sebagian besar dari saudara-saudara raja itu sebetulnya tidak memiliki kompetensi yang memadai, namun karena berdasar undang-undang memang raja berwenang untuk ikut dalam menentukan pengisian jabatan di dalamnya. Tidak aneh apabila pimpinan dari urusan kerumahtanggaan kerajaan juga diisi oleh saudara-saudara kandung raja.
Sebagai contoh, pasukan gelandang kiri dan kanan dikomandani oleh pangeran kembar, yaitu Raden Citraksa dan Raden Citraksi. Keduanya adalah penyandang disabilitas, yakni gagap dalam bicara, maksudnya pada saat mengucapkan kata-kata selalu tergagap-gagap dan dengan intonasi yang sulit untuk mengerti oleh lawan bicara. Dampaknya, pasukan ini sering kali mengalami kegagalan dalam tugas yang disebabkan alur komando dan pesan yang tidak tersampaikan secara sempurna kepada para tentara pada saat di lapangan ataupun medan pertempuran. Sepertinya program digitalisasi masih belum berjalan dengan mulus di dalam pasukan ini.
Raden Dursasana adalah adik kandung raja, yang diserahi tugas sebagai komandan lapangan pada saat pasukan melakukan agresi ke luar kerajaan. Uniknya, kesatria ini sebetulnya tidak menyukai kemiliteran, meskipun badannya tinggi besar dengan wajah agak sangar, tetapi lebih menyukai seni, khususnya seni tari tradisional, bahkan hobinya adalah guyonan. Ke mana pun dia ditugasi bersama pasukan militer, mereka selalu membawa serta korp musik militer.
Setiap kali akan berangkat ke medan laga, pasukan mengadakan gelar seni berparade untuk memberi semangat bagi seluruh pasukan. Salah satu POB (prosedur operasional baku) yang diajarkan adalah melaksanakan prosesi budalan diiringi kiprah, di mana para komandan pasukan harus bisa berjoged, sesuai POB dengan iringan musik jenis lancaran, ladrangan, bahkan saling bersahutan dengan lagu palaran atau rambangan.
Raden Karna Masuk Sekolah
Raden Karna sang Menteri Pertahanan, di bawah koordinasi kemahapatihan kerajaan Astina, sebetulnya bersaudara kandung dengan Raden Arjuna, seorang kesatria dari kerajaan Amarta, di mana keduanya lahir dari seorang ibu yang sama, yaitu ibu Kunti. Keduanya merupakan maestro dalam menggunakan senjata berupa panah dengan berbagai anak panah. Perlu Anda tahu, bahwa untuk mampu menggunakan senjata panah membutuhkan daya konsentrasi sangat tinggi yang dapat disetarakan dengan seorang penembak jitu (sniper). Penguasaan atas peralatan dan perkiraan atas arah dan kecepatan angin sangat penting terkait sasaran-sasaran yang sangat jauh. Senjata panah hanya cocok bagi target-target jarak jauh, sedang untuk jarak dekat bisa mengandalkan lontaran tombak atau pedang.
Semenjak kecil Karna hidup di tengah keluarga kusir kereta kuda, delman, kretek, bendi, atau andong, yaitu kendaraan yang ditarik oleh seekor atau beberapa ekor kuda untuk membawa orang atau barang. Tentu dia sangat akrab dengan pekerjaan sehari-hari misalnya memberi makan kuda-kuda, memandikan, atau membersihkan dan membuang kotoran kuda dari kandang. Namun demikian dia justru bercita-cita menjadi seorang tentara di kerajaan, dan tidak ingin meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai pengemudi delman.
Ayah Karna, Adirata, sehari-hari memang mangkal di sekitar ibukota untuk menunggu penumpang yang ingin diantar ke tujuan dengan delmannya. Karena sehari-hari berada di sekitar ibukota kerajaan, tidak aneh bila dia tahu bahwa ada sekolah yang sekaligus mengajarkan dasar-dasar militer. Saat Karna remaja, dia mencoba mencari informasi kapan saat pendaftaran penerimaan siswa baru di sekolah itu. Setelah mencari tahu di sekolah yang diasuh oleh Penembahan Durna tersebut, ternyata sekolah itu hanya menerima siswa dari kalangan kesatria saja, anak seorang kusir tidak bisa diterima sebagai murid.
Meskipun sempat terpikir untuk menyuruh Karna untuk mendaftar dan tidak perlu mengaku sebagai anak Adirata seorang kusir, nampaknya skenario ini urung dicoba. Karna sering kali ikut dan membantu saat ngetem dan mengantar penumpang. Saat ada penumpang, Karna kecil tidak ikut menumpang delman, tetapi mengikuti di belakang delman, dan kadang harus ikut mendorong saat delman melewati tanjakan. Jadi banyak orang yang mengetahui bahwa Karna adalah anaknya, hanya seorang kusir. Tidaklah memungkinkan untuk memalsukan kartu keluarga dan mengaku anaknya adalah seorang kesatria. Siapa tahu pegawai bagian pendaftaran pernah melihat Karna pada saat dia sedang mengawal perjalanan delman.
Setelah mencari info sana-sini, Adirata mendengar bahwa ada sebuah sekolah yang letaknya cukup jauh dari ibukota, yang menurut berita didirikan oleh seorang pensiunan tentara. Selain mengajarkan ilmu agama juga memberi pelajaran dasar-dasar militer. Rencana dia, agar tidak direndahkan sebagai kusir, maka saat dia mendaftarkan Karna ke sekolah itu, dia berpakaian ala seorang agamawan atau kyai. Untuk meyakinkan pihak sekolah, sengaja dia tinggalkan delman di rumah, dan bersama Karna masing-masing menunggang kuda, sambil mengenakan tutup kepala layaknya seorang pemuka agama.
Tak disangka, ternyata trik itu manjur dan Karna diterima sebagai siswa di sekolah itu. Setelah mendaftarkan dan mengisi beberapa formulir, Adirata pun langsung pulang dan meninggalkan Karna untuk belajar dan tinggal di asrama sekolah. Saat mau pulang Adirata berpesan agar Karna tekun belajar, dan mempertahankan selalu berpakaian layaknya seorang santri. Dia pernah mendengar kabar, bahwa sekolah itu hanya menerima siswa dari kalangan santri saja.
Sekolah ini dipimpin oleh seorang kepala sekolah sekaligus merangkap guru. Seperti halnya sekolah-sekolah lain saat itu, pelajaran yang diberikan banyak menekankan pada aspek kekuatan dan ketahanan fisik yang didasari pula pada olah jiwa. Praktis puasa untuk melatih konsentrasi dan ketenangan jiwa adalah salah satu pelajaran dan praktik wajib bagi para siswa. Pelajaran yang sangat menarik bagi Karna adalah memanah, mulai pengetahuan dasar, peralatan, sampai dengan praktik, dia sangat serius menyimak dan berlatih dengan tekun. Pelajaran lain yang menarik bagi dia adalah filsafat, yang mengajarkan berbagai hakekat di dalam kehidupan manusia.
Kepala sekolah bernama Ramaparasu atau Parasurama, sangat lihai dalam panah-memanah karena ternyata  mantan anggota batalion pemanah di suatu kerajaan yang dia tidak pernah mau menyebutkan namanya. Hampir semua pengajaran sekolah dia ajarkan menggunakan pendekatan coaching, di mana para siswa pada saat belajar sesuatu akan dibimbing, diawasi, dan didampingi langsung oleh guru dibantu para asisten yang terdiri dari siswa-siswa senior. Meskipun pengetahuan teori juga diajarkan, tetapi sebatas sebagai pengetahuan dasar saja.
Beberapa tahun belajar dan merasa sudah cukup menguasai semua pelajaran, Raden Karna secara basa-basi mohon petunjuk, adakah keilmuan lain yang harus dipelajari sebagai bekal menjalani kehidupan. Bak gayung bersambut, bapak kepala sekolah menganggap Karna sudah lulus dan layak menyandang alumni dari sekolah itu. Sebagai tanda perpisahan diadakan perjamuan ala kadarnya dengan menyembelih ayam peliharaan sendiri dan minum-minum kopi hasil produksi sekolah sendiri bersama para murid yang sudah menamatkan pengajaran. Acara diadakan di halaman yang lebih luas dengan iringan musik tetabuhan sederhana, dan ditutup dengan penyerahan surat tanda sudah tamat belajar (STSTB).
Sekitar lepas tengah malam seusai acara, rupanya bapak kepala sekolah agak kecapaian, dan beliau ketiduran di halaman bekas acara di pangkuan Karna. Tanpa disadari, ada seekor binatang kecil menggigit pahanya sampai keluar darah. Namun karena bapak Ramaparasu sedang lelap tidur berbantalkan kakinya, Raden Karna diam saja khawatir sampai membangunkan beliau.
Tidak disangka, bapak kepala sekolah terbangun dan serta merta melihat paha Karna yang sedang bersimbah berdarah oleh gigitan binatang. Beliau justru kaget luar biasa, kenapa Karna diam saja tidak merasa kesakitan meskipun darah mengalir dari kakinya.
Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, bapak kepala sekolah meyakini bahwa Karna bukan seorang santri biasa, tetapi adalah seorang kesatria. Saat menanyakan dan mengkonfirmasi, selalu dijawab bahwa sebenarnya dia anak seorang kusir kereta kuda biasa, namun bukan dari kalangan agamawan atau pesantren. Namun bapak kepala sekolah keukeuh dengan keyakinan bahwa dia adalah seorang kesatria, bukan orang pesantren apalagi tukang delman. Perdebatan kecil ini tidak tuntas, karena Karna memang menyadari sebagai anak seorang kusir dan tidak tahu hal lain, sedang bapak kepala sekolah masih dengan keyakinannya.
Tancep Kayon
Berbekal keilmuan dan keterampilan yang dipelajari di sekolah, Raden Karna  hendak mencari perguruan lain yang mengajarkan ilmu kemiliteran seperti yang diinginkan. Dia sengaja tidak pulang dulu ke rumah ayahnya, namun berbekal info yang didengar dari teman-teman selama sekolah, dia akan mencoba mendaftar di sekolah semi militer sangat terkenal yang diasuh oleh Penembahan Durna. Lokasi sekolah ini berada di sekitar ibukota kerajaan, sehingga dia harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki.
Sesampai di sekolah itu, rupanya sedang diadakan ujian akhir semester, di mana semua siswa diuji dengan cara menunjukkan kemampuan dan penguasaan atas keilmuan yang sudah dipelajari dalam semester tersebut. Banyak sekali orang yang hadir di arena ujian tersebut. Nampak semua siswa yang sedang diuji berpakaian bangsawan, tidak ada yang berpakaian santri dengan baju koko dan kopiah atau orang-orang biasa dengan motif lurik atau berkaos oblong. Raden Karna berpikir, tidak mungkin dia menemui petugas pendaftaran di ruang administrasi pada saat sedang ada acara seperti ini. Ia pun mendekat pada arena ujian yang memang dilaksanakan di sebuah lapangan di area sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H