Penggolongan atau perbedaan kelompok di dalam agama Islam sering kali didasari atas pandangan-pandangan berbeda terhadap berbagai masalah-masalah peribadatan. Misalnya, apa-apa saja yang dibolehkan, atau tidak dibolehkan dilakukan oleh seorang muslim pada saat melaksanakan salat fardu.
Ilmu Fikih merupakan satu bidang ilmu yang membahas secara khusus masalah-masalah hukum yang mengatur aspek-aspek kehidupan manusia, mulai dari kehidupan pribadi, di dalam masyarakat, maupun kehidupan manusia dalam hubungannya sebagai hamba Tuhan. Dengan kata lain, ilmu fikih berkaitan dengan kewajiban-kewajiban dan hak-hak seorang manusia sebagai makhluk Tuhan.
Dalam praktiknya penurunan hukum-hukum Islam mendasarkannya kepada Al Qur'an dan Sunnah rasulullah. Pada masa hidup rasulullah otoritas pendapat hukum peribadatan langsung berada di tangannya, artinya apabila ada persoalan hukum bisa dimintakan pendapat hukum secara langsung kepada rasulullah. Pada kurun waktu ini disebut periode risalah, di mana hukum-hukum yang disampaikan dianggap sebagai pesan atau kiriman dari Allah Yang Mahakuasa kepada manusia melalui rasulullah, baik melalui sabda rasul yang disampaikan melalui lisan, maupun perilaku atau tindakan-tindakan rasul, serta larangannya.
Pada periode selanjutnya, di mana rasulullah sudah tidak ada, maka sumber pencarian hukum di dalam ilmu fikih tetap didasarkan pada Al Qur'an dan Sunnah. Namun demikian apabila di dalam kedua sumber itu tidak dapat ditemukan secara jelas, maka para ahli fikih menetapkan pendapat-pendapat hukum berdasarkan kesepakatan di antara para ahli fikih, yang disebut dengan ijtihad. Banyak di antaranya sudah merupakan kesepakatan secara bulat dan tidak ada perbedaan pendapat atas suatu perkara tertentu, maka disebut ijma'.
Tentu tidak mudah bagi orang-orang biasa untuk mendapatkan sendiri ketetapan atau hukum atas masalah tertentu sekedar berdasarkan Al Qur'an. Misalnya, bacaan-bacaan pada saat melaksanakan salat. Â Padahal di dalam Al Qur'an disebutkan kewajiban melaksanakan salat, sedangkan sebaliknya berbagai bisa jadi hadis mencakup berbagai hal yang bahkan saling bertentangan. Untuk mengatasi masalah ini maka para ahli fikih membuat kesepakatan atas bacaan-bacaan pada saat melaksanakan salat, baik yang yang dihukumi wajib maupun yang sunat.
Yang menjadi masalah adalah banyak sekali permasalahan yang harus ditetapkan hukumnya. Di lain pihak Al Qur'an dan Sunnah sering kali tidak secara jelas dan rinci menetapkan hukum-hukum atas perkara tertentu. Untuk itu peran para ahli fikih atau fuqaha, menjadi sangat penting. Seorang ahli fikih disebut al fakih, bentuk jamaknya adalah fuqaha. Masalah perbedaan pendapat hukum menjadi hal yang tidak bisa dihindari karena pemahaman yang berbeda oleh para ahli fikih atas sumber yang sama.
Sumber perbedaan pertama tentu saja dimulai dari aspek bahasa, di mana kedua sumber dasar menggunakan bahasa Arab. Misalnya, seorang fakih menghukumi bahwa batal wudu bila seorang laki-laki menyentuh perempuan, sedangkan fakih yang lain menghukumi tidak batal. Sumber perbedaan di sini adalah kata menyentuh. Yang dimaksud apakah sekedar menyenggol atau dengan sengaja memegang dengan disertai perasaan tertentu.
Dalam usaha pemahaman, tidak lepas dari unsur bahasa dan budaya. Sudah lazim bahwa dalam bahasa tertentu terkandung makna ang bisa dipahami berbeda oleh orang yang berbeda. Misalnya kata "kufar," bisa bermakna petani, atau bisa juga bermakna orang yang menutup diri. Kata "doa" bisa bermakna memanggil, atau bisa juga meminta.
Ibarat para jaksa, pembela terdakwa, maupun para hakim, di sebuah pengadilan, ketiga pihak ini adalah sama-sama para ahli hukum. Di dalam memandang perbuatan melawan hukum yang sudah dilakukan oleh seorang terdakwa, yang diduga telah melanggar pasal tertentu menurut dakwaan para jaksa, ketiganya bisa berbeda pandangan. Dengan menggunakan argumentasi hukum yang berbeda yang dibangun oleh para pembela, bisa saja para hakim secara hukum sah dan yakin membebaskan terdakwa, artinya argumentasi para jaksa yang tidak benar. Atau sebaliknya argumentasi para pembela yang tidak meyakinkan para hakim, sehingga terdakwa tetap dijatuhi hukuman. Ketiga pihak sah saja membangun argumentasi hukumnya masing-masing sepanjang mematuhi pedoman hukum acara.
Sekumpulan perbedaan-perbedaan fikih melahirkan kelompok-kelompok pengikut mazhab tertentu yang masing-masing berusaha mematuhi mazhabnya masing-masing, misalnya orang bermazhab Syafi'i adalah orang-orang yang mematuhi hukum-hukum yang dituliskan oleh Imam Syafi'i. Mazhab-mazhab yang lain adalah Hambali, Maliki, dan Hanafi.
Masing-masing kelompok mempunyai pedoman kitab-kitab hukum untuk berbagai permasalahan. Bisa saja untuk suatu masalah yang sama, pendapat hukumnya akan berlawanan bila dihukumi menggunakan kitab dari mazhab yang berbeda. Misalnya bagaimana hukum makmum  membaca surat Al Fatihah saat salat, sebagian mazhab mewajibkannya, sedangkan sebagian justru tidak mengharuskan membacanya. Meskipun pendapat hukumnya berbeda, masing-masing mempunyai argumentasi atau dasar hukum sebelum sampai kepada pendapat hukum atas sesuatu perkara.
Untuk memberi pendapat hukum atas masalah tertentu, menjadi sangat penting kaidah-kaidah yang digunakan sebagai dasar, sehingga pendapat hukumnya menjadi kuat. Bagaimana menggunakan sekumpulan kaidah untuk mengambil keputusan hukum ini disebut Ushul Fiqh. Tentu saja untuk bisa melakukan ini seorang fakih menggunakan segenap kemampuan dan akalnya untuk memahami dan saling mengaitkan antara kaidah satu dengan lainnya. Pada kenyataannya aspek-aspek budaya dan maslahat bagi masyarakat juga tidak bisa dikesampingkan.
Meskipun suatu pendapat hukum atas masalah tertentu sudah dilengkapi dan didasari oleh sekumpulan kaidah dasar, mungkin saja tidak bisa diterima oleh ahli-ahli fikih yang lain. Akhirnya menimbulkan ketidak sepakatan, perbedaan pendapat, Â atau khilafiyah.
Masalah khilafiyah seharusnya dianggap masalah biasa saja oleh karena sekumpulan argumentasi yang memang berbeda. Tetapi faktanya perbedaan pendapat hukum ini bisa menimbulkan pertengkaran bagi para pihak yang tidak paham mengenai perbedaan-perbedaan hukum ini. Untuk itu dibutuhkan kebesaran hati dan kiat-kiat tertentu bagi sesama umat Islam untuk menyikapinya. Misalnya, bagaimana menyikapi perbedaan pandangan tentang jumlah rakaat salat tarawih, bahwa sebagian ahli fikih menyatakan salat tarawih berjumlah 8 rakaat, sedang ahli lain menyatakan bahwa jumlahnya 20 rakaat.
Perbedaan pandangan hukum akan membawa konsekuensi yang lebih besar apabila dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah politik, maka perbedaan pandangan hukum bisa menimbulkan akibat lebih serius dan korban, bahkan di antaranya para fukaha sendiri. Misalnya saja, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, dan lain-lain.
Efek paling kecil atas perbedaan pandangan hukum dan praktik peribadatan yang dilakukan sudah cukup membuat para pengikutnya meyakini bahwa yang mereka ikuti adalah benar, dan sering kali menganggap pihak lain tidak benar. Tentu saja terasa tidak adil apabila menuntut semua umat ikut belajar memelajari kaidah-kaidah pengambilan hukum sehingga bisa memahami perbedaan pendapat hukum atas suatu permasalahan ibadah tertentu. Namun paling tidak, dengan memahami berbagai kaidah yang mendasari timbulnya perbedaan pendapat hukum, akan membuat umat Islam lebih bisa menghargai mengapa sampai terjadi berbagai perbedaan pendapat mengenai pengertian dan praktik-praktik peribadatan tertentu. Atau, paling tidak bisa memahami bahwa ada tafsir atau kelompok-kelompok lain yang memandang dan praktik ibadah yang berbeda oleh kelompok-kelompok lain dan itu sah-sah saja.
Wallahu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H