Mohon tunggu...
Wisnu Pitara
Wisnu Pitara Mohon Tunggu... Guru - Sekadar membaca saja

Sekadar berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beda Fikih Sah-sah Saja

9 September 2020   14:06 Diperbarui: 9 September 2020   14:00 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Untuk memberi pendapat hukum atas masalah tertentu, menjadi sangat penting kaidah-kaidah yang digunakan sebagai dasar, sehingga pendapat hukumnya menjadi kuat. Bagaimana menggunakan sekumpulan kaidah untuk mengambil keputusan hukum ini disebut Ushul Fiqh. Tentu saja untuk bisa melakukan ini seorang fakih menggunakan segenap kemampuan dan akalnya untuk memahami dan saling mengaitkan antara kaidah satu dengan lainnya. Pada kenyataannya aspek-aspek budaya dan maslahat bagi masyarakat juga tidak bisa dikesampingkan.

Meskipun suatu pendapat hukum atas masalah tertentu sudah dilengkapi dan didasari oleh sekumpulan kaidah dasar, mungkin saja tidak bisa diterima oleh ahli-ahli fikih yang lain. Akhirnya menimbulkan ketidak sepakatan, perbedaan pendapat,  atau khilafiyah.

Masalah khilafiyah seharusnya dianggap masalah biasa saja oleh karena sekumpulan argumentasi yang memang berbeda. Tetapi faktanya perbedaan pendapat hukum ini bisa menimbulkan pertengkaran bagi para pihak yang tidak paham mengenai perbedaan-perbedaan hukum ini. Untuk itu dibutuhkan kebesaran hati dan kiat-kiat tertentu bagi sesama umat Islam untuk menyikapinya. Misalnya, bagaimana menyikapi perbedaan pandangan tentang jumlah rakaat salat tarawih, bahwa sebagian ahli fikih menyatakan salat tarawih berjumlah 8 rakaat, sedang ahli lain menyatakan bahwa jumlahnya 20 rakaat.

Perbedaan pandangan hukum akan membawa konsekuensi yang lebih besar apabila dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah politik, maka perbedaan pandangan hukum bisa menimbulkan akibat lebih serius dan korban, bahkan di antaranya para fukaha sendiri. Misalnya saja, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, dan lain-lain.

Efek paling kecil atas perbedaan pandangan hukum dan praktik peribadatan yang dilakukan sudah cukup membuat para pengikutnya meyakini bahwa yang mereka ikuti adalah benar, dan sering kali menganggap pihak lain tidak benar. Tentu saja terasa tidak adil apabila menuntut semua umat ikut belajar memelajari kaidah-kaidah pengambilan hukum sehingga bisa memahami perbedaan pendapat hukum atas suatu permasalahan ibadah tertentu. Namun paling tidak, dengan memahami berbagai kaidah yang mendasari timbulnya perbedaan pendapat hukum, akan membuat umat Islam lebih bisa menghargai mengapa sampai terjadi berbagai perbedaan pendapat mengenai pengertian dan praktik-praktik peribadatan tertentu. Atau, paling tidak bisa memahami bahwa ada tafsir atau kelompok-kelompok lain yang memandang dan praktik ibadah yang berbeda oleh kelompok-kelompok lain dan itu sah-sah saja.

Wallahu'alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun