PEMULUNG DAPAT UNTUNG
Oleh: SWNababan/Sri Wahyuni NababanÂ
Sejak jam delapan pagi pemulung bernama Karto belum juga makan. Sekarang sudah pukul dua belas siang. Saatnya istirahat sembari menunggu salat Zuhur tiba. Perutnya sudah sangat lapar. Suara cacing terdengar riuh seperti tak ingin berlama-lama untuk diberi makan.
Sambil memegang perutnya, dia juga memejamkan mata karena menahan sakit dan panasnya terik matahari. Dalam beberapa jam telah berjalan untuk mencari barang bekas yang berada di tempat sampah dan jalanan.
Duduk di atas tembok berukuran setengah meter yang berada di depan gerbang rumah mewah.
"Heh! Jangan di sini! Taunya cuma bongkar-bongkar tempat sampah aja! Nggak ada kerjaan lain, apa?!" usir pemilik rumah yang baru saja sampai dengan mengendarai mobil.
"Maaf, Pak. Tapi saya rapikan lagi, kok," ucapnya dengan nada lemas.
"Halaaaah! Semua pemulung itu sama. Nggak muda, nggak tua, sama-sama ngotorin!"
"Saya--"
"Udah-udah, nggak usah nyari pembelaan. Kumal, bau, jorok lagi. Huss!"
Pak Karto dianggap sebagai orang terhina karena pekerjaannya. Seandainya orang kaya tersebut kalau kehidupan Pak Karto benar-benar sulit, pasti tak akan merendahkannya. Bukan sekali ini orang-orang melakukannya, bahkan sering dan hampir setiap hari. Namun, dia tetap gigih menjadi pemulung lantaran tak ada lagi pekerjaan yang bisa menerimanya saat usianya sudah tua.