Tulisan berikut adalah ulasan mengenai sosok Ivan Kartawiria, doesen Swiss German Unversity (Life Science Departement) yang bergelut dibidang pendidikan, namun diiringi dengan aplikasi ilmu pengetahuan tersebut dalam berbagai bidang, termasuk stand up comedy.
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, begitu orang-orang berkata. Terdengar tulus memang. Terdengar positif memang. Namun entah mengapa orang-orang analogikan sosok guru yang layak menjadi pahlawan adalah seorang tokoh yang harus banyak memberi, namun sedikit menerima secara materi, mereka adalah sosok yang selalu diidentikan dengan kesengsaraan, ketidakmapanan dan kemiskinan. Pemikiran yang sesungguhnya sangat diskriminatif dan melecehkan makna sosok seorang guru dan pahlawan itu sendiri. Pemikiran yang sangat matrealistis namun dari cermin terbalik, sehingga lebih terlihat seperti sebuah pelarian dan aktualisasi sombong dari sikap anti akan kemapanan.
Saat anda berpikir tentang sosok guru yang layak masuk kategori pahlawan adalah seorang sosok yang sudah berjuang banyak namun tidak menerima imbalan yang pantas, maka anda sesungguhnya sudah masuk ke dalam kategori orang-orang yang telah di jelaskan di atas. Orang-orang yang secara sombong ingin terlihat perduli, namun disaat yang bersamaan telah berlaku diskriminatif terhadap para guru yang sudah berjuang dengan tulus namun mapan dan mendapatkan imbalan yang pantas.
Menghargai para guru yang telah banyak berjuang di dunia pendidikan namun tidak menerima imbalan yang pantas sebagai sosok pahlawan merupakan hal yang baik, namun bukan berarti para guru yang menerima gaji besar, mapan dan berkecukupan perlu dipandang berbeda. Profesi agung seorang guru yang dengan tulus berhasrat untuk mendidik dan membentuk para muridnya agar kelak bisa menjadi manusia yang lebih baik secara menyeluruh adalah sebuah dimensi pandangan yang perlu dipisahkan dari dimensi pandangan imbalan yang mereka terima. Mengkorelasikan dan menyandingkan dimensi pandang keagungan profesi guru dengan dimensi pandang imbalan yang didapat adalah sesuatu yang melecehkan sosok guru dan juga sosok pahlawan, serta terkesan sangat diskriminatif terhadap kemapanan.
Bapak Irvan kartawiria adalah seorang ahli bioproses. Menyelesaikan pendidikan di Australia tidak membuat dia melupakan mimpi besarnya untuk menjadi seorang pendidik di Negara tercintanya Indonesia. Di dalam benaknya, ada beberapa pilihan jalan yang bisa dipilih bila dia kelak ingin mengabdikan diri di dunia pendidikan Indonesia. Pilihan untuk melepaskan kemapananan dan mengabdikan diri sebagai pendidik di daerah-daerah pelosok sempat terpikirkan, seperti pemikiran para anak muda lain pada umumnya, dengan memilih jalan tersebut terkesan memperlihatkan betapa “perduli” nya dia terhadap dunia pendidikan. Namun dia memilih jalan yang berbeda, tapi tetap dengan dasar pertimbangan yang matang. Dia memilih jalan untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan tinggi sebagai dosen, dan dia memutuskan untuk memilih mendidik di perguruan tinggi dengan murid yang berasal dari kelas menengah ke atas.
Di dalam pemikirannya, bila mayoritas orang-orang yang tulus dan berdedikasi terhadap dunia pendidikan lebih memilih untuk mendidik kalangan daerah dan kalangan menengah ke bawah, lalu siapa yang akan mendidik mereka-mereka yang ada di perkotaan dan di kalangan menengah atas untuk kelak menjadi seseorang yang berilmu, sukses namun tetap perduli dengan sekitar serta bermoral baik? Bila itu yang terjadi, maka kelak para kalangan perkotaan dan kalangan menengah atas tidak akan pernah punya kesempatan membentuk dirinya menjadi manusia yang lebih baik seutuhnya. Hingga akhirnya hanya akan menghasilkan generasi-generasi yang pintar dan sukses namun minim moral dan kepedulian.
Sosok yang hangat dan ceria ini sangat suka meluangkan waktunya untuk ikut berkumpul bersama para murid dalam suasana santai, untuk sekedar berbincang ringan namun disisipi petuah-petuah penting yang secara efektif masuk dan membentuk karakter-karakter dari para murid. Karena menurut dia, pendidikan dan pembinaan harus dilakukan secra menyeluruh, tidak hanya terkait hal-hal akademis namun juga hal-hal non akademis.
Sosok ini benar-benar berlawanan dengan karakter umum dari para dosen yang biasanya memposisikan diri sebagai profil yang sibuk, sulit diakses, kaku, berbicara sok tinggi dan terkesan berjarak. Berbeda dengan dosen pada umumnya, dia tidak berpikiran bahwa dosen yang sukses, baik dan hebat adalah sosok yang selalu sibuk dengan hal-hal akademis, berkutat dengan buku dan teori, serta terkurung dalam berbagai proyek penelitian, namun sedikit berinteraksi lebih dalam dengan para murid, dan berkesempatan membentuk karakter para murid dari interaksi yang terjadi.
Dia selalu berpikir bahwa mendidik otak dari para murid hanya merupakan bagian kecil dari tugas seorang pendidik, karena bagian yang lebih besar adalah mendidik karakter, mental, dan hati dari para murid. Dan hal tersebut tidak bisa hanya dilakukan dan diberikan di dalam ruang kelas atau laboratorium, dan juga tidak bisa diberikan hanya di dalam lingkungan kegiatan akademis.
Tulisan oleh Tabligh Permana (Coordinator Laboratory Assistant - Life Science Department Swiss German University) diambil dari blog beliau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H