Saya pun banyak dikirimi oleh senior dan junior doa saat mereka mendengar kabar kalau saya sakit. Bahkan, ada alumni yang saya tidak kenal datang menjenguk saya. Beliau katanya mendengar kabar saya sakit dari salah satu staff SGU.
Tak hanya itu, saya dikirimi video dari dosen-dosen dan staff SGU yang sering saya temui waktu saya di kampus dulu. Dan saya juga dikirimi surat-surat kecil yang berisikan pesan agar saya cepat sembuh dari dosen, staff, dan junior saya.
Bagaimana saya nggak sedih kampus saya diblokir dan ditemboki? Memang kegiatan perkuliahan semester ganjil sudah selesai pada hari Jumat sebelum pembangunan tembok dimulai. Tapi bagaimana dengan teman-teman saya yang mau thesis? Bagaimana mereka berkomunikasi dengan para dosen pembimbing? Bagaimana teman-teman saya yang di jurusan lain yang perlu menggunakan lab di kampus?
Kampus tersebut sudah seperti rumah kedua saya. Saya dulu ikut organisasi, kegiatan tari saman, bahkan saya sering stay hingga malam di kampus untuk melakukan photoshoot di studio kampus bersama teman-teman sekelas saya. Rapat bersama staff SGU pun sering kami lakukan karena mengikuti organisasi.
Orang-orang yang berada di kampus itu sudah bukan orang-orang asing lagi bagi saya. Mereka adalah keluarga.
Mungkin kami memang kecil dalam jumlah, tapi semangat kami untuk mempertahankan SGU sangat besar. Karena kami tahu mana yang benar, dan mana yang rakus.
Saya yakin ini semua ada hikmahnya dan akan ada pencerahan di balik semua ini.
Tulisan oleh Clarines Sadira (Mahasiswi Swiss German University Semester 6) yang diambil dari akun Facebook beliau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H