Mohon tunggu...
Siti widayanti
Siti widayanti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sepiro gedhening sengsoro yen tinompo amung dadi cobo

Hidup tak berguna atau mati dengan banyak karya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pola Interaksi dan Organisasi Komunitas Santri

17 Juni 2019   15:16 Diperbarui: 17 Juni 2019   15:24 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Interaksi sosial menurut Soerjono Soekanto yaitu proses sosial mengenai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta hubungan sosial (Soerjono, 1990, 76). Menurutnya proses terjadinya interaksi dibagi menjadi dua bagian, yaitu pola hubungan asosiatif yang meliputi, kerjasama (Coopperation) dan akomodasi (Accommodation) atau sebuah upaya untuk meredakan pertentangan dengan cara mengurangi tuntutan (Soerjono, 1990, 78).

Menurut teori struktural fungsional, masyarakat yang ada berada dalam kondisi statis atau bergerak dalam kondisi keseimbangan, selalu melihat dalam anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum (Soerjono, 1990, 29).

Selain itu memandang bahwa masyarakat sebagai bagian dari suatu lembaga sosial yang berada dalam keseimbangan, yang mempolakan kehidupan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikuti peran serta manusia itu sendiri (George, 25). Ada beberapa prasyarat fungsional yang harus dipenuhi masyarakat tersebut.

Pertama, Adaptation menunjukan pada keharusan pada sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya.

Kedua, Goal attainment prasyarat fungsional yang muncul dari pandangan Parsons bahwa tindakan tersebut diarahkan pada tujuan-tujuannya.

Ketiga, Integration merupakan prasyarat yang berhubungan dengan interaksi antara para anggota dalam sistem sosial yang berfungsi secara efektif sebagai suatu kesatuan, harus ada paling kurang suatu tingkat solidaritas diantara individu yang termasuk didalamnya, masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan dipertahankan.

Keempat, Latent Patteren Maitenance menunjukan pada berhentinya interaksi. Yang para anggotanya memungkinkan terlibat didalamnya.
Pola organisasi pada komunitas santri memiliki dua organisasi partai politik besar, yaitu Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU), satu partai kecil, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), serta satu organisasi sosial yang berkenaan dengan Pendidikan dan berbagai kegiatan amal yang menyertakan diri tidak bersifat politis tetapi kenyataannya terjalin erat dengan Masyumi dan Muhammadiyah yang dianggap setiap orang sebagai progresif atau modernitas sedangkan NU dianggap konservatif dan kuno. Namun berbeda dengan kalangan Abangan dan Priyayi, hampir tidak ada santri yang netral secara politis.

Partai politik bagi santri jawa bukan sekedar suatu gabungan rakyat yang memiliki kebiasaan memilih partai yang sama. Partai-partai tersebut dianggap sebagai organisasi sosial, persaudaraan, rekreasi dan keagamaan, dimana ikatan kekeluargaan, ekonomi serta ideologi bergabung mendesak suatu masyarakat untuk mendukung satu perangkat tunggal nilai-nilai sosial yang tidak hanya berkenaan dengan penggunaan kekuasaan politik yang layak saja, tetapi juga mengatur tingkah laku dalam berbagai kehidupan yang berbeda-beda.

Pada kenyataannya bahwa kedua partai tersebut yang satu bersifat konservatif dan yang satunya bersifat modernis  yang cenderung untuk membawa kaum modernis ke dalam partai yang satu dan kaum konservatif ke dalam partai yang satunya lagi, pertimbangan sosial lainnya cenderung untuk menimbulkan kemalangan. Pada umumnya kedua partai tersebut baik itu kalangan muda, terpelajar, yang penghuni kota dan yang kurang religius lebih cenderung untuk menjadi modern. Gabungan antara ikatan kekeluargaan, ekonomi dan ideologi dalam kedua partai tersebut tidak pasti kebenarannya, ada kemungkinan mengalami distorsi karena kebetulan. Jika di desa-desa tertentu sebagian besar cenderung menjadi Masyumi, dan yang lainnya sebagian besar menjadi NU (Clifford, 1981, 221).

Di dalam suatu organisasi pasti adanya seorang pemimpin, dalam hal ini kepemimpinannya dalam bentuk kepemimpinan politik yang religius. Dikalangan awam konservatisme dan modernisme terlihat hanya menjadi preferensi yang dianggap lebih condong bersimpati kepada salah satu partai, atau sekedar teman perjalanan yang tidak jelas masalahnya akan tetapi merasa bahwa salah satu kelompok atau kelompok yang lain cocog dengan perasaannya. Namun, dikalangan pimpinan, prasangka-prasangka tersebut terumus, sehingga masing-masing partai memiliki masalah ganda.

Pertama, membuat pertimbangan di kalangan elite hingga ada kesempatan tentang seberapa konservatif partai konservatif seharusnya, seberapa modern partai modernis. Kedua, menarik dan mempertahankan massa menurut ukuran-ukurannya.

Sebagai contoh, di Mojokuto suatu konflik kepemimpinan muncul dalam ukuran yang berbeda-beda pada masing-masing partai. NU, konflik berlangsung antara pemimpin-pemimpin yang lebih muda, terpelajar dan telah terpengaruh kota, yang di perlakukan oleh partai supaya bisa berjalan lebih lancar dalam arena politik, orang-orang yang modernismenya seringkali hampir sekuat pemimpin-pemimpin Masyumi, dengan kyai-kyai pedesaan yang lebih menghendaki tetapnya NU dalam garis perjuangan konservatif.

Dewan pemimpin di Mojokuto terdiri dari dua kelompok. Ada tiga sampai empat orang yang berusia enam puluh tahunan yang memiliki tugas utamanya adalah untuk berkomunikasi dengan rakyar jelata dan para kyai desa yang menjadi pemimpin spiritual mereka dan untuk meyakinkan kedua kelompok tersebut bahwa partai tidak jatuh ke tangan-tangan yang berdosa.

Ada juga orang muda yang pekerjaannya untuk membuat bagan garis partai dalam perjuangan politik lokal, memberi suatu kemiripan dengan organisasi yang efektif dan menyampaikan perintah-perintah dari pimpinan pusat. Sementara pemimpin-pemimpin partai setempat mengatakan bahwa NU adalah partai yang benar-benar sangat konservatif dan bisa menuduh Muhammadiyah dianggap gegabah dalam persoalan keagamaan. Di dalam kepemimpinan Masyumi, semua pemimpin Masyumi di Mojokuto adalah anggota Muhammadiyah dan merupakan modernis yang tegas dan umumnya bersikap simpatik terhadap modernisme.

Namun, permasalahannya bukan soal modernisme dengan konservatif, melainkan perbedaan yang disebut "sekuler" dan perbedaan "saleh" terhadap modernisme. Sebagaimana definisi seorang santri bahwa tak seorang santri pun bisa menjadi seorang sekularis. Dengan demikian orang memandang modernisme dari dua sudut.

Pertama, terdapat orang-orang islam yang saleh, yang perasaannya terhadap tradisi-tradisi islam yang sama dalamnya dengan mereka yang konservatif, tetapi karena terdidik dengan baik sehingga menyadari kekurangan islam pada abad pertengahan bagi kehidupan modern, misalnya anak Nazir yang telah belajar beberapa Bahasa dan ilmunya tentang Quran dan hadist telah dikenal diseluruh wilayah, baik dikalangan modernis maupun konservatif.

Orang yang modernisme adalah untuk menunjukan islam yang tidak akan menimbulkan rasa malunya, khususnya dalam menghadapi kepercayaan-kepercayaan lain yang dimodernisasikan, misalnya agama Kristen, tetapi yang tetap bercorak islam dan masih memenuhi kebutuhan-kebutuhan keagamaan yang kuat.

Kedua, orang-orang yang tertarik kepada modernisme adalah mereka yang kepentingan utamanya terletak pada dunia sekuler tetapi juga merasakan adanya kebutuhan semacam konteks religius untuk tingkah lakunya. Ia menginginkan suatu agama yang tidak terus-menerus menghalangi kegiatannya dalam kehidupan yang modern dan sekuler, yang akan membiarkan ia mengejar kepentingannya, tetapi yang masih mengizinkan dia menjadi seorang muslim yang baik untuk membenarkan kehidupannya menurut ukuran-ukuran Quran (Clifford, 1981, 222-225).

Berdasarkan yang telah dibahas di atas menunjukan bahwa interaksi telah terjadi sejak manusia itu lahir, setiap manusia pasti melakukan sebuah interaksi baik secara individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Di dalam komunitas santri memiliki banyak organisasi yang menjadi bagian dari kegiatannya, seperti organisasi partai politik besar, yaitu NU dan Masyumi serta satu partai kecil, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), serta satu organisasi sosial yang berkenaan dengan Pendidikan dan berbagai kegiatan amal.

DAFTAR PUSTAKA


Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT dunia pustaka jaya.
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun