Interaksi sosial menurut Soerjono Soekanto yaitu proses sosial mengenai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta hubungan sosial (Soerjono, 1990, 76). Menurutnya proses terjadinya interaksi dibagi menjadi dua bagian, yaitu pola hubungan asosiatif yang meliputi, kerjasama (Coopperation) dan akomodasi (Accommodation) atau sebuah upaya untuk meredakan pertentangan dengan cara mengurangi tuntutan (Soerjono, 1990, 78).
Menurut teori struktural fungsional, masyarakat yang ada berada dalam kondisi statis atau bergerak dalam kondisi keseimbangan, selalu melihat dalam anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum (Soerjono, 1990, 29).
Selain itu memandang bahwa masyarakat sebagai bagian dari suatu lembaga sosial yang berada dalam keseimbangan, yang mempolakan kehidupan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikuti peran serta manusia itu sendiri (George, 25). Ada beberapa prasyarat fungsional yang harus dipenuhi masyarakat tersebut.
Pertama, Adaptation menunjukan pada keharusan pada sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya.
Kedua, Goal attainment prasyarat fungsional yang muncul dari pandangan Parsons bahwa tindakan tersebut diarahkan pada tujuan-tujuannya.
Ketiga, Integration merupakan prasyarat yang berhubungan dengan interaksi antara para anggota dalam sistem sosial yang berfungsi secara efektif sebagai suatu kesatuan, harus ada paling kurang suatu tingkat solidaritas diantara individu yang termasuk didalamnya, masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan dipertahankan.
Keempat, Latent Patteren Maitenance menunjukan pada berhentinya interaksi. Yang para anggotanya memungkinkan terlibat didalamnya.
Pola organisasi pada komunitas santri memiliki dua organisasi partai politik besar, yaitu Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU), satu partai kecil, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), serta satu organisasi sosial yang berkenaan dengan Pendidikan dan berbagai kegiatan amal yang menyertakan diri tidak bersifat politis tetapi kenyataannya terjalin erat dengan Masyumi dan Muhammadiyah yang dianggap setiap orang sebagai progresif atau modernitas sedangkan NU dianggap konservatif dan kuno. Namun berbeda dengan kalangan Abangan dan Priyayi, hampir tidak ada santri yang netral secara politis.
Partai politik bagi santri jawa bukan sekedar suatu gabungan rakyat yang memiliki kebiasaan memilih partai yang sama. Partai-partai tersebut dianggap sebagai organisasi sosial, persaudaraan, rekreasi dan keagamaan, dimana ikatan kekeluargaan, ekonomi serta ideologi bergabung mendesak suatu masyarakat untuk mendukung satu perangkat tunggal nilai-nilai sosial yang tidak hanya berkenaan dengan penggunaan kekuasaan politik yang layak saja, tetapi juga mengatur tingkah laku dalam berbagai kehidupan yang berbeda-beda.
Pada kenyataannya bahwa kedua partai tersebut yang satu bersifat konservatif dan yang satunya bersifat modernis  yang cenderung untuk membawa kaum modernis ke dalam partai yang satu dan kaum konservatif ke dalam partai yang satunya lagi, pertimbangan sosial lainnya cenderung untuk menimbulkan kemalangan. Pada umumnya kedua partai tersebut baik itu kalangan muda, terpelajar, yang penghuni kota dan yang kurang religius lebih cenderung untuk menjadi modern. Gabungan antara ikatan kekeluargaan, ekonomi dan ideologi dalam kedua partai tersebut tidak pasti kebenarannya, ada kemungkinan mengalami distorsi karena kebetulan. Jika di desa-desa tertentu sebagian besar cenderung menjadi Masyumi, dan yang lainnya sebagian besar menjadi NU (Clifford, 1981, 221).
Di dalam suatu organisasi pasti adanya seorang pemimpin, dalam hal ini kepemimpinannya dalam bentuk kepemimpinan politik yang religius. Dikalangan awam konservatisme dan modernisme terlihat hanya menjadi preferensi yang dianggap lebih condong bersimpati kepada salah satu partai, atau sekedar teman perjalanan yang tidak jelas masalahnya akan tetapi merasa bahwa salah satu kelompok atau kelompok yang lain cocog dengan perasaannya. Namun, dikalangan pimpinan, prasangka-prasangka tersebut terumus, sehingga masing-masing partai memiliki masalah ganda.
Pertama, membuat pertimbangan di kalangan elite hingga ada kesempatan tentang seberapa konservatif partai konservatif seharusnya, seberapa modern partai modernis. Kedua, menarik dan mempertahankan massa menurut ukuran-ukurannya.