Attitude, itu kata dan pokok bahasan yang disampaikan saat mengikuti mata kuliah Manajemen SDM Pelayanan Kesehatan. Attitude merupakan sikap dan etika yang harus dimiliki oleh semua orang. Tidak terkecuali tenaga kesehatan baik itu di pemerintahan maupun di swasta. Sorotan terbesar ketika seseorang atau sekelompok orang mengemban tugas dan tanggungjawab sebagai mesin pengatur roda pemerintahan disuatu negara. Sumber daya manusia di pemerintahan harus mempunyai etika yang meliputi integritas dan kejujuran dimana merupakan salah satu kompetensi yang mendasari kompetensi lainnya. Integritas dan kejujuran ibarat dua hal yang tidak bisa terpisahkan, orang tidak dapat berintegritas apabila tidak jujur dan orang jujur tidak mempunyai integritas yang baik apabila tidak diikuti dengan usaha dan kerja keras. Integritas dan kejujuran adalah dimensi agar sesorang tersebut dapat disebut kredible. Kredibelitas seseorang tercermin pada kepercayaan orang lain baik itu pimpinan maupun bawahan terhadap apa yang telah dikerjakan oleh orang yang kredibel dan tentu itu adalah contoh orang yang mempunyai kepribadian yang kuat.
Menyinggung tentang kepribadian seseorang, hal tersebut merupakan tujuan akhir dari pengembangan revolusi mental yang sedang disoroti presiden kita Bapak Joko Widodo (red: Jokowi) . Saat kampanye bapak Jokowi menuliskan bahwa revolusi mental perlu khususnya bagi SDM pemerintahan. Indonesia memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah.
Bagaimana dengan SDM Kesehatan yang bekerja di lini paling dasar Puskesmas dan Dinas Kesehatan?
Tentu dari dahulu kala tenaga kesehatan baik medis maupun non medis merupakan pejuang kesehatan yang tidak kenal lelah dalam menyehatkan bangsa Indonesia. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, integritas kerja mulai luntur. Salah satu buktinya adalah kurangnya motivasi tenaga dokter untuk bekerja jauh dari perkotaan. Sangat sulit untuk mendapatkan dokter muda memiliki semangat untuk mengabdikan ilmunya kewilayah-wilayah yang terpencil. Seperti yang disampaikan oleh ibu Menkes periode 2009-2014 Nafsiah Mboi, “Secara Nasional, jumlah SDM Kesehatan kita sebetulnya sudah cukup. Tetapi memang masalah distribusi jelas sekali. Inilah yang harus diatasi bersama-sama”.
Salah satu upaya untuk menarik minat dokter dan perawat di era Jaminan Kesehatan adalah dengan memberikan insentif berupa Jasa pelayanan Kapitasi. Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2014 menyebutkan bahwa tenaga medis dokter mendapatkan point tertinggi dan mempunyai grading yang jauh terhadap tenaga yang lainnya. Jasa pelayanan diberikan dari 60% minimal total dana Kapitasi di Puskesmas. Perhitungan dana kapitasi tidak berdasarkan beban kerja namun berdasarkan jumlah kepesertaan. Dengan kata lain puskesmas atau PPK I yang mempunyai PBI banyak akan menikmati jasa pelayanan yang besar terlepas apakah peserta berobat atau tidak. Itulah mengapa insentif ini menimbulkan kekhawatiran apakah menambah semangat dan integritas pada medis dan non medis di Puskesmas? Dari pengalaman pribadi dan beberapa tulisan menunjukkan bahwa muncul permasalahan seputar pemberian jasa pelayanan kapitasi ini seperti :
1.Muncul permasalahan internal di Puskesmas, variabel perhitungan yang tidak melibatkan beban kerja menjadi polemik sendiri ketika keterbatasan dokter mengharuskan perawat turun tangan dalam melayani pasien. Sementara grading jasa pelayanan yang bisa berbeda 3x lipat antara dokter dan petugas kesehatan lainnya. Dampak sistemik muncul melibatkan penurunan motivasi kerja dan integritas.
2.Konflik eksternal antar puskesmas, perhitungan kapitasi berdasarkan jumlah kepesertaan menimbulkan kecemburuan sosial. Penurunan kinerja mungkin terjadi ketika satu puskesmas berbeda nilai kapitasinya. Misalnya Puskesmas A melayani 2000 pasien/bulan dengan 1000 pasien belum menjadi peserta atau peserta mandiri bukan PBI dan 1000 peserta PBI maka puskesmas akan mendapat kapitasi sebesar 1000 x 6000 = 6.000.000 perbulan. Dan puskesmas B melayani 1500 pasien/bulan dengan 1000 pasien belum menjadi peserta atau peserta mandiri bukan PBI dan 3000 peserta PBI maka puskesmas akan mendapat kapitasi sebesar 3000 x 6000 = 18.000.000 perbulan. Terlihat ketimpangan beban kerja Puskesmas A lebih besar tapi mendapatkan kapitasi yang lebih kecil dibandingkan puskesmas B.
3.Belum lagi apabila kita melihat keterlibatan Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan selaku regulator, PMK No. 19 Tahun 2013 tidak melibatkan kedua pihak ini dalam mendapatkan insentif jelas membuka celah untuk terjadinya penyimpangan baik dalam bentuk administrasi maupun keuangan.
Bila kita melihat Puskesmas di wilayah luar Jawa, dimana penduduknya hanya kurang lebih ¼ jumlah penduduk Indonesia, penulis berpendapat sangat tidak mungkin insentif kapitasi ini mampu meningkatkan integritas tenaga dokter dan medis lainnya untuk bersedia ditempatkan di wilayah terpencil.
Bagaimana dengan pegawai BPJS? Tentu mereka sangat beruntung. Sejak berlakunya UU No. 24 Tahun 2011 yang diterjemahkan dalam Perpres No. 12 Tahun 2013. BPJS merupakan transformasi dari PT. ASKES mempunyai fungsi antara lain memungut dan mengumpulkan iuran peserta, pemberi kerja dan penerima bantuan iur (PBI) dari pemerintah, mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta serta memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada peserta dan masyarakat. Tahun 2014 BPJS sudah mendapatkan kucuran dana dari APBN kurang lebih 20 triliun untuk peserta PBI. Belum ditambah jumlah peserta mandiri yang dalam 10 bulan ini mengalami peningkatan. SDM yang bersih dan jujur sangat dibutuhkan guna menjaga kredibilitas BPJS itu sendiri. Oleh karena itu tidak berlebihan pegawai BPJS mendapatkan kompensasi yang sesuai dengan resikonya. Peluang seseorang atau kelompok untuk melakukan penyimpangan sangat besar, oleh karena itu revolusi mental perlu dilakukan di badan ini. Hal senada diucapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Hospital and Clinic Watch (INHOTCH) dr. Fikri Suadu kepada Harian Terbit. Beliau mengatakan “Dana JKN BPJS Kesehatan banyak dijadikan bajakan”. Banyaknya masalah pelaksanaan JKN menandakan bahwa sektor pelayanan BPJS melakukan pembiaran pada tataran implementatif.
Kesimpulan akhir dari pokok bahasan ini revolusi mental SDM kesehatan dan BPJS berawal dari bagaimana sistem kesehatan itu bekerja. Salah satu upaya pemberian insentif agar terjadinya pemerataan tenaga dokter dan medis lainnya dalam meningkatkan motivasi dan integritas kerja adalah tepat. Namun patut diberikan catatan bahwa PMK No. 19 tahun 2014 perlu dilakukan pengkajian ulang, sangatlah mungkin seseorang perlu diberikan penghargaan atas kinerjanya bukan hanya sekedar jumlah kepesertaan dari PPK itu sendiri. Penilaian integritas dan kejujuran sangatlah penting pada saat penerimaan SDM BPJS, karena dimensi itulah yang mendasari kredibilitas BPJS itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H