Keborosan bangsa ini juga melanda gaya bahasa yang boros, mubazir. Gaya bahasa seseorang memang termasuk hak azasi setiap orang. Yang ingin disampaikan di sini adalah perihal keborosan, bukan selera berbahasa. Dalam dunia politik, kaidah hemat berbahasa tidak berlaku; ungkapan politk seringkali jusru berbelit-belit, tidak lugas. Di bawah ini saya kutip beberapa contoh keborosan bertutur/menulis.
Para penutur bahasa Indonesia, dan tersiar sehari-hari di setasiun TV mana saja, banyak sekali memboroskan kata, misalnya : “kalau seandainya”, “kalau misalnya”. Sisipan kata yang tidak perlu, misalnya :
·Jokowi dan Ahok yang merupakan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI ----- dst.
·HB X yang merupakan Gubernur DIY ----- dst.
·Jembatan K mengalami kemiringan x0.
·Denpom 88 melakukan penembakan kepada teroris.
·Polisi melakukan penangkapan pencopet.
·Persibo belum bisa melakukan penekanan.
Kata-kata yang tertulis tebal dan miring, sama sekali tidak diperlukan, sehingga ungkapan-ungkapan tersebut lebih efisien sebagai berikut :
·Jokowi dan Ahok, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI ----- dst.
·HB X, Gubernur DIY ----- dst.
·Jembatan K miring x0.
·Denpom 88 menembak teroris.
·Polisi menangkap pencopet.
·Persibo belum bisa menekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H