Sempat kupikir sejenak bagaimana caranya mereka tetap mempertahankan prinsip meski diterpa caci, maki, hujatan bernada kebencian hingga kekerasan fisik tanpa membalas hal serupa. Seandainya Tuhan membalik situasi tersebut, apakah kita yang mengaku mayoritas bisa memiliki mental yang sama saat menghadapi tekanan serupa? Ataukah kita termasuk golongan yang merintih saat diasingkan tapi menindas sebagai mayoritas?
Seandainya saja mental minoritas itu dimiliki kaum mayoritas, atau api semangat pembaharu menyambar para status quo, tentulah kehidupan harmonis bukanlagi utopis.
Tulisan ini terwujud bukan karena sok tau atau sok pedulinya penulis. Mungkin para penganut status quo hari ini akan berkomentar “tau apa lo anak ingusan!”. Tapi sebagai manusia yang pernah mencicipi ilmu sosial, penulis hanya ingin mengingatkan pribadi penulis sendiri sekaligus membagi kegelisahan melalui pendekatan sosiologi yang paling dasar, kemanusiaan.
Ketika menindas dan menghujat digunakan untuk mengutarakan kebenaran, maka saat itu juga kebenaran dihujat, dibenci dan dinafikkan . Jika kita merasa benar, kenapa harus resah? Kenapa harus menghujat? Kenapa harus menindas?
Apakah manusia yang tega menindas sesama manusia masih bisa disebut manusia?
Beruntunglah mereka yang tidak pernah berhenti berjuang, serupa dengan semangat sang Blackbird. Mereka tetap yakin akan adanya hasil dari apa yang mereka perjuangkan, sekecil apapun itu, meski hanya untuk mengejar seberkas cahaya di tengah pekatnya gelap malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H