[caption caption="Ilustrasi: @Shutterstock"][/caption]Siapa mengira, hampir sepuluh tahun setelah tamat SMA, akhirnya saya bisa kembali kebangku sekolah. Suatu hal yang hampir mustahil terjadi dalam hidup saya. Bayangkan, sebagai seorang anak yang berasal dari sebuah keluarga miskin, bisa menyelesaikan sekolah sampai tamat SMA ditahun 1970 saja, sudah merupakan prestasi yang cukup lumayan buat saya. Setelah lulus SMA, saya sudah mencoba berjuang hidup dengan bekerja serabutan ber tahun2 (maklum hanya mengandalkan selembar ijazah SMA dan tanpa referensi), hasilnya hanya 'pas' buat makan saja....hehehe.
Tahun 1979 dengan bantuan sebuah 'agent' di Jakarta, saya didaftarkan kesebuah perguruan tinggi di Amerika. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya berangkat juga saya kesana. Bekalnya hanya tekad dan doa dari teman dan sanak saudara. Banyak suka dan duka yang saya alami selama empat tahun sekolah dan bekerja di sana. Menyaksikan semua pohon, besar dan kecil, pada rontok daunnya dimusim gugur, menjadi pengalaman pertama yang mengasyikkan. Kemudian disusul dengan merasakan salju yang turun dari langit, untuk pertama kali dalam hidup ini, dipertengahan bulan Oktober 1979. Yah, 'katrok' kalau istilah sekarang, maklum anak desa pergi ke Amerika....hehehe.
Hari demi hari, dari tahun ke tahun, aktivitas saya hanyalah sekolah, belajar dan bekerja. Tanpa ada sponsor dari tanah air, dalam arti tidak pernah menerima kiriman uang sesenpun selama empat tahun disana. Semua uang hasil kerja disimpan untuk membayar uang sekolah setiap kwartal. Tahun pertama, kedua dan ketiga semuanya berjalan lancar, sampai pada akhir tahun keempat, dimana saya mengalami satu insiden, gara2 satu pelajaran yang membuat saya sedikit bersengketa dengan gurunya.
Begini ceritanya...
Di tahun keempat, kwartal terakhir, saya mengambil mata pelajaran Advanced Accounting. Dalam ujian akhir saya dinyatakan lulus dengan nilai 'Pass'. Tapi ada tugas sampingan kayak pekerjaan rumah, yaitu membuat laporan akuntansi, dimana saya dinyatakan gagal, dapat nilai 'Fail'. Ini berarti saya tidak dapat mengikuti wisuda tahun itu, karena harus mengulang mata pelajaran tadi. Nah, disitu saya agak kecewa, mengapa hanya gara2 masalah pekerjaan rumah dapat nilai jelek (sedangkan nilai ujiannya lulus dengan baik), saya dinyatakan tidak lulus mata pelajaran tersebut. Kalau nilai ujian jelek dan pekerjaan rumah juga jelek, mungkin saya masih bisa menerima.Â
Saya lalu menghadap ke profesornya dikantor beliau, menjelaskan masalah yang saya hadapi, dengan harapan bisa diberi kesempatan sekali lagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah tadi. Saya berpikir apa sih susahnya mengerjakan suatu tugas pekerjaan rumah, khan hanya membuat sebuah laporan. Mungkin si Profesor menilai laporan saya tidak masuk akal, sehingga diberi nilai jelek? Ternyata beliau tetap kekeuh, bahwa saya gagal dimata pelajaran Advanced Accounting itu, dan harus mengulang lagi.
Saya mencoba mendebat dengan argumentasi saya, bahwa ujian akhir saya nilainya baik, mengapa hanya karena sebuah pekerjaan rumah seluruh prestasi saya jadi ikutan gagal? Saya dengan memelas (rasanya hampir nangis...hikkks) mohon diberikan kesempatan sekali lagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah itu, agar saya bisa lulus dan ikut wisuda akhir tahun itu. Sang profesor yang usianya kira2 seumuran dengan saya kala itu (sekitar 30 tahun), tetap mengatakan "no excuse'.
Saya masih ingat, saya kembali kekamar saya di 'dormitory'(asrama), sambil mengusap air mata karena sedih sekali. Saya sudah merencanakan sejak lama, pulang ke tanah air setelah sekolah empat tahun saja, jangan sampai lebih lama, karena terus terang saya hampir tidak kuat lagi untuk sekolah sambil bekerja selama 4 tahun itu.Â
Mengapa hanya karena masalah sepele saja, saya harus menderita, mengulang hanya satu mata pelajaran dan menunggu wisuda sampai tahun depan? Saya merasa bahwa sang profesor muda itu 'antipati' terhadap saya sebagai mahasiswa asing, makanya beliau tidak sedikitpun menunjukkan iktikad baik untuk menolong. Saya jadi penasaran, dalam hati saya bilang, saya akan mencari keadilan.
"Land of the Free and Home of the Brave"...
[caption caption="sumber : shutterstock.com"]
Hari itu saya mendatangi sebuah ruang kantor, yang bertuliskan 'Student Affairs' dipintunya. Di dalam saya diterima oleh seorang wanita setengah baya. Beliau sangat ramah, masalah saya ditampung dengan baik. Saya diminta untuk kembali lagi minggu depannya. Waktu kembali menghadap beliau, saya sudah deg2an, apa yang akan terjadi dengan nasib saya sekali ini. Ternyata beliau bener2 membantu dan membela saya. Beliau minta saya datang kekantor sang profesor lagi, nanti disana masalah saya akan diselesaikan.Â
Begitu saya menghadap sang profesor, saya langsung disuruh untuk menulis ulang pekerjaan rumah yang pernah gagal itu. Dengan gembira saya kerjakan lagi, membuat laporan akuntansi yang baru. Setelah selesai, cepat2 saya serahkan kembali kekantor sang profesor.Â
Hasilnya dapat nilai 'Pass'. Saya masih ingat, saat itu saya langsung lari menuju keruang si ibu di kantor Student Affair untuk menghaturkan terima kasih atas bantuannya membela kasus saya. Berkat bantuan beliau, si profesor muda yang arogan itu ternyata takut juga dan terpaksa meluluskan saya. Perlu saya tuliskan di sini sebagai tambahan, ibu yang membantu saya tersebut (yang sampai sekarang saya tidak pernah tahu nama beliau), adalah seorang wanita berkulit hitam. Terima kasih atas bantuannya ibu...sehingga saya bisa lulus tepat waktu dan mengikuti wisuda di akhir tahun 1983.
Begitulah pengalaman pahit dan manis tentang mencari keadilan disebuah kampus di negara Amerika. Memang harus saya akui, di negara maju seperti Amerika, hak asasi seorang manusia sangat dijunjung tinggi. Seseorang boleh tidak senang terhadap orang lain, berbeda pandangan atau pendapat, tapi kita tidak boleh memperlakukan orang lain dengan se-mena2 dan se-wenang2, hanya karena lebih berkuasa atau berada dipihak yang lebih kuat. Hukum dan kebenaran benar2 ditegakkan dan dipatuhi semua orang. Ditambah lagi peradaban masyarakat di sana sangat mumpuni, saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia.
Â
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H