Mohon tunggu...
Swan Dito
Swan Dito Mohon Tunggu... -

Seorang calon manula yang ingin hidup praktis, sederhana tapi membawa ketentraman dan kedamaian batin. Hidup sehat dan bahagia adalah pilihan saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengalaman Belajar tentang Spiritual yang Pertama Kali

20 Maret 2016   07:15 Diperbarui: 20 Maret 2016   09:03 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber : shutterstock.com"][/caption]Waktu itu saya masih remaja, duduk berdua dengan seorang teman saya disebuah rumah yang sedang berduka karena kematian sang kepala keluarga. Kebetulan almarhum adalah ayah teman sekolah saya di SMP. Suasananya memang cukup mengharukan, banyak anggota keluarga yang menangis disamping peti jenazah, yang diletakkan persis ditengah ruangan rumah tersebut.

Didepan kami, dua orang bapak-bapak sedang membicarakan apa yang terjadi saat itu, dan kami tertarik untuk ikut mendengarkan. Salah satu bapak tersebut mengatakan bahwa mereka-mereka yang menangis saat itu, sebenarnya mereka tidak menangisi almarhum, tapi mereka menangisi diri mereka sendiri. Mereka menangisi kesedihan mereka karena ditinggal mati oleh almarhum.

Untuk saya yang masih remaja saat itu, sungguh sulit untuk mengerti dan memahami apa yang dimaksudkan oleh bapak tersebut. Yang saya tahu mereka menangisi anggota keluarganya yang meninggal, karena mereka tidak akan bersama lagi untuk selamanya. Dengan lain kata, mereka seolah tidak rela atau tidak siap untuk berpisah dengan almarhum. Tidak terlintas dalam benak saya ketika itu, kenapa mereka menangisi diri mereka sendiri.

Saya mulai rajin belajar tentang spiritualitas setelah memasuki usia empat puluhan tahun. Belajar disini bukan hanya membaca buku tentang spiritual atau menghadiri diskusi-diskusi spiritual, tapi juga mulai mencoba mengamati kehidupan diri saya sendiri dan orang2 disekitar saya. Yang saya ingat waktu itu, saya jadi senang menyendiri, duduk sendirian dirumah, merenung sampai ber jam2 tanpa terasa, mengikuti dan mengamati jalannya pikiran. Satu2nya benda mati yang menjadi saksi bisu perjalanan perenungan saya mengenai kehidupan ini adalah...

[caption caption="sumber : doc pribadi"]

[/caption]Benar, si kursi tua satu inilah yg setia menemani saya ber puluh2 tahun mengamati dan merenungi hidup, mengupas dan mengolah kembali semua suka dan duka yang pernah saya alami. Kalau pas peristiwa atau kejadian yg menggembirakan muncul dipikiran, saya bisa senyum2 sendiri, tapi kalau kisah duka yg melintas di pikiran, sering mata menjadi basah ber kaca2. Dan ternyata, jujur saja, banyak kisah duka yang mewarnai kehidupan pribadi saya. Kesusahan, kesulitan, kekecewaan dan ketidak puasan dalam hidup yang kemungkinan besar mempunyai andil besar, mengapa saya jadi intens belajar tentang spiritual, termasuk menjalani hidup prihatin sebagai 'pertapa partikelir' sampai sekarang.

Lalu apa hubungannya dengan tulisan saya diatas tentang 'kesedihan' atau menangisi diri sendiri tadi ?

Ternyata saya baru bisa benar-benar memahami arti atau makna menangisi diri sendiri tadi setelah saya duduk merenung ber tahun2 tentang kesedihan hidup. Ternyata saya juga sering menangisi kesedihan dan kedukaan yang saya alami, lebih tepatnya saya menangisi diri saya sendiri, walaupun kejadian sedih dan duka tadi khan sudah lewat lama sekali, kejadian dimasa lalu. Baru setelah mengalami sendiri, saya menjadi sadar, tidak ada gunanya menangisi kesedihan atau kedukaan. Semuanya itu, memang harus dan sudah terjadi, biarlah terjadi, dan akan menjadi suatu cerita masa lalu.

Sejak kesadaran muncul dalam diri saya, bahwa selama saya tidak 'terikat' atau 'melekat' pada kesedihan atau kedukaan tsb, saya tidak akan menangisinya. Begitu juga halnya dengan kekecewaan, kemarahan dan kebencian, hanya dengan kesadaran yang dilatih terus menerus, kita akan kuat dan tidak akan terjerumus dalam keputus asaan.

Jadi kesimpulannya, 'kesadaran' lah yang telah membuat saya bisa memahami dan bisa menerima kenyataan atas segala sesuatu dalam hidup ini untuk datang dan pergi. Kesadaran ini jugalah yang membuat saya tidak lagi menyesali atau meratapi semua kegagalan dalam hidup saya dimasa lalu. Perlu saya tulis disini, bahwa saya tidak termasuk dalam kelompok manusia 'sukses' atau 'berhasil' dalam hidup ini. Hanya karena saya belajar spiritual, olah batin atau olah 'roso' (apapun istilahnya), timbullah suatu 'kesadaran' dalam diri saya untuk bisa menerima kenyataan hidup. Buktinya sampai saat ini, saya masih sehat2 saja, masih semangat dalam menjalani hidup ini dengan keadaan apa adanya. Walaupun kadang2 kalau melihat atau berjumpa teman2 atau kerabat yang hidupnya sukses dan berhasil, masih juga muncul perasaan 'iri' dlm diri ini...hehehe.

Bagi mereka diluar sana, yang masih berjuang dan bergumul dengan liku-liku kehidupan dunia ramai, atau sedang menghadapi percobaan hidup, tetaplah tabah dan tawakal, berusahalah untuk bisa melewati segala macam kesulitan dan jangan sekali kali putus asa. Selalu berpikiran positif dan optimis, siapa tahu didepan telah menanti kehidupan yang lebih baik.

Hidup adalah misteri, jalanilah dengan hati-hati. 

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun