Di tengah sejumlah kabar muram ekonomi kita, seperti penurunan daya beli dan rumor akan PHK, sudah mulai ada gagasan supaya Indonesia tidak lagi semata mengandalkan  pertumbuhan ekonominya pada ekspor barang mentah semata yang akan cepat habis karena tidak bernilai tambah. Juga, kurang menyerap lapangan kerja karena minimnya proses pengolahan di sana. Sebagai gantinya, sekarang banyak orang mulai melirik ekonomi kreatif sebagai alternatif sandaran.Â
Widjojonomics vs Habibienomics
Tampaknya menjadikan ekonomi kreatif sebagai faktor penghela ekonomi akan menjadi suatu terobosan segar untuk mengakselerasi perekonomian. Memang, kekuatan ide atau gagasan kreatif sekarang ini tidak bisa dianggap main-main. Pakar inovasi ternama James Canton dalam The Extreme Future (2007) mengemukakan bahwa 1/3 dari PDB global saat ini berasal dari apa yang disebut industri kreatif.
Bagaikan sebuah nubuat, visi Canton sebenarnya sudah jauh-jauh hari didiskusikan secara intensif oleh para pemikir terkemuka di Indonesia. Utamanya, dalam perdebatan dua diskursus ekonomi di masa silam antara Widjojonomics versus Habibienomics. Â
Sesuai dengan labelnya, kedua "mazhab" itu dinamai setelah para penggagasnya. Pertama, Widjojonomics adalah label yang disematkan orang kepada pemikiran konseptor dan teknokrat pembangunan ekonomi era Orde Baru, Widjojo Nitisastro, seorang ekonom yang kerap dijuluki "Pak Lurah" atau pemimpin dari para ekonom jebolan Universitas Berkeley yang terkenal dengan julukan "Mafia Berkeley". Pada intinya, Widjojonomics ingin mengatakan bahwa dalam menghadapi kekuatan monopolistis ekonomi negara maju, negara sedang berkembang sebaiknya memproduksi barang yang memiliki keunggulan komparatif yang kurang diminati negara maju. Sebagai contoh, mengekspor bahan mentah, tekstil, dan lain-lain yang kurang memiliki kandungan teknologi maju.
Kedua, nama Habibienomics kali pertama dicetuskan oleh Kwik Kian Gie berdasarkan isi pidato mantan presiden RI Habibie yang dibacakan dalam sebuah pertemuan ICMI di Jakarta. Inti Habibienomics sebagaimana disimpulkan Arief Budiman (Kompas, 5/5/1993) adalah perekonomian harus dikembangkan melalui perebutan teknologi canggih untuk mengejar ketertinggalan dari negara maju. Indonesia bukan negara yang hanya bisa memproduksi barang yang memiliki keunggulan komparatif, tetapi harus memiliki keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif itu bisa dicari melalui pengejaran teknologi tinggi. Dari situlah, Habibie sangat berambisi meluncurkan proyek-proyek teknologi tinggi seperti pendirian PT IPTN---kini PT Dirgantara Indonesia (DI)---yang mengkhususkan diri pada pembuatan teknologi pesawat terbang. Â
Dengan kata lain, kedua mazhab pemikiran ekonomi cemerlang yang pada medio 1990-an sempat berbenturan hebat ini adalah perseteruan antara mereka yang mengutamakan keunggulan komparatif di satu sisi dan mereka yang mengedepankan keunggulan kompetitif.
Ekonomi kreatif sebagai sintesis
Seiring perjalanan waktu, akan tetapi, kedua mazhab pemikiran ini terbukti memiliki kelemahan masing-masing. Pertama, penekanan pada keunggulan komparatif hanya membuat bahan mentah kita tersedot habis. Padahal, bahan mentah kita yang berlimpah seperti kokoa, kelapa sawit, dan lain sebagainya bisa dijual kembali oleh negara importir dengan harga berlipat ganda setelah mereka olah untuk bernilai tambah. Alhasil, kerap kita sendiri yang gigit jari karena nantinya harus membeli barang hasil olahan itu dengan harga yang lebih mahal.Â
 Kedua, penekanan pada keunggulan kompetitif, jika tidak dilakukan dengan matang dan hanya bermodalkan ambisi dan spirit nasionalisme belaka, hanya akan terperosok menjadi proyek-proyek mercusuar yang menyedot biaya besar tanpa imbal-hasil atau manfaat yang layak. Akibatnya, penekanan tersebut bisa berujung pada penghamburan uang negara secara percuma.