Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kinerja Ekonomi dan Kestabilan Demokrasi, Apa Kaitannya?

3 Februari 2025   11:58 Diperbarui: 3 Februari 2025   12:20 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kover Ekonomi Indonesia Mau Ke Mana? Karya Wakil Presiden Boediono (Sumber: goodreads.com)

Ekonomi dan politik selama ini dipandang bersifat trade-off. Artinya, kalau mau dimensi yang satu maju, maka aspek satunya harus dikorbankan. Itulah sebabnya banyak rezim pemerintahan misalnya membatasi kebebasan politik atau demokrasi demi memuluskan upaya pembangunan ekonomi. Padahal, trade-off itu hanyalah mitos. Justru, ada hubungan erat antara kinerja ekonomi dan kestabilan sistem politik demokratis.

Tiga faktor

Secara teoretis, kinerja ekonomi dan kestabilan demokrasi memiliki korelasi bahkan kausalitas (sebab-musabab) yang erat. Ini bisa kita lihat dalam pidato pengukuhan Guru Besar mantan wakil Presiden Boediono (2009 -- 2014) berjudul "Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia" di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, pada 24 Februari 2007 (dimuat dalam Boediono, Ekonomi Indonesia Mau Ke Mana?, Penerbit Buku Kompas, 2009). Di sana, Boediono menyebut tiga faktor terkait dimensi-ekonomi politik pembangunan Indonesia yang penting bagi kestabilan demokrasi. Pertama, kinerja ekonomi. Tesisnya berdasarkan pengalaman empiris selama 1950- 1990 adalah, rezim demokrasi di negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 berdasarkan purchasing power parity (PPP) hanya bertahan kira-kira delapan tahun. Apabila angka itu naik ke US$1.500-3.000, demokrasi bisa bertahan 18 tahun. Sementara angka ideal kinerja ekonomi, di mana rasio kegagalannya hanyalah 1:500, adalah $6.600.

Kedua, adanya kelompok pembaharu (semacam kelas menengah mapan) yang memegang teguh nilai-nilai demokratis. Adapun kelas pembaharu ini akan terpelihara apabila proses pertumbuhan ekonomi itu menyentuh sebagian besar masyarakat (broad based) dan prosesnya lebih mengandalkan kreativitas sumber daya manusianya ketimbang mengandalkan penjualan kekayaan alam.

Ketiga, kohesi sosial. Ini terkait dengan bagaimana suatu bangsa mampu menjaga keutuhannya. Faktor terpenting untuk menjaga hal ini adalah kenegarawanan dan kearifan para elit politik suatu bangsa. 

Lanskap saat ini dan ke depan

Berdasarkan kerangka teoretis di atas, kita bisa coba menakar prospek dan lanskap demokratisasi di negara kita. Sebagai awal, indikator pendapatan per kapita kita baru mencapai kisaran $4.800 alias baru setengah jalan lebih sedikit. Jelas ini bukan angka aman bagi kestabilan demokrasi kita. Pertumbuhan yang minim jelas akan mengurangi lapangan pekerjaan, memperparah kemiskinan dan menyediakan bahan bakar berlimpah untuk disulut menjadi ancaman nyata bagi penggulingan demokrasi. Oleh karena
itu, kebijakan-kebijakan progresif dan agresif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi selalu niscaya, seperti: penggenjotan ekspor, perbaikan iklim investasi untuk mengundang investor, penaikan tax ratio secara signifikan, dan lain sebagainya.

Kedua, pertumbuhan ekonomi tetap harus mengedepankan unsur kualitas. Pertumbuhan harus dibarengi pemerataan sehingga bisa menjangkau sebanyak mungkin lapisan masyarakat dan menumbuhkan kelas-kelas pembaharu yang cendekia dan bermoral. Fenomena bahwa Indonesia sedang menikmati bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak daripada yang tidak, adalah modal besar bagi munculnya gelombang kelas pembaharu. Sebab, mereka termasuk generasi milenial yang secara fitrah bersifat lebih kreatif dan memiliki ingeniutas (daya cipta orisinal) yang tinggi.

Tambahan lagi, studi oleh Muhammad Faisal (Generasi Phi, Republika Penerbit, 2017) menyebutkan bahwa generasi milenial atau Phi ini punya perhatian (concern) terhadap isu-isu kepublikan dan demokrasi, seperti isu pemberantasan korupsi, akuntabilitas pemerintahan, dan lain sebagainya. Jika modal ini tidak dirawat dan bahkan ditelantarkan, yang akan muncul bukanlah kelas-kelas pembaharu, melainkan generasi apatis yang justru bisa menjadi anarkis. Maka itu, kebijakan pemerataan ekonomi juga mesti digiatkan, seperti: pemberian jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan secara luas, pemberian subsidi sosial dan pendidikan yang tepat sasaran, dan lain sebagainya. 

Ketiga, menjaga kohesi sosial kita adalah salah satu tantangan terberat kita sejak dulu. Sebab, Indonesia terkenal dengan kemajemukannya yang luar biasa. Ini berbeda, misalnya, dengan Korea Selatan. Studi Salim Said (Ini Bukan Kudeta, Mizan, 2018) yang membandingkan proses reformasi di empat negara (Thailand, Indonesia, Mesir, dan Korea Selatan), sebagai contoh, menunjukkan proses reformasi di Korea Selatan adalah yang relatif paling berhasil karena mereka bisa menjaga kohesi sosialnya berkat anugerah kultur dan etnis mereka yang homogen. Berbeda dengan tiga negara lain yang masih tertatih-tatih karena kewalahan merakit kohesi sosial mereka di tengah latar belakang masyarakat yang sangat majemuk, apalagi dalam kasus Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun