Salah satu kekhawatiran masyarakat mengenai politik Indonesia dalam empat atau lima tahun ke depan adalah adanya potensi "matahari kembar" kepemimpinan akibat persepsi tarik-menarik kepentingan antara Prabowo sebagai Presiden dan mantan Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang jelas masih memiliki pengaruh politik kuat. Apalagi kehadiran Gibran sebagai wakil presiden bisa dibilang sebagai perpanjangan tangan sang ayah, Jokowi, untuk aktif di dalam kekuasaan realpolitik konkret. Nah, potensi dualisme kepemimpinan ini tentu berbahaya karena akan memicu instabilitas politik yang bisa mengganggu kerja pemerintah ke depan. Jadi, kita perlu melakukan prediksi soal relasi Prabowo - Jokowi pada 2024 -2029.
Guna melakukan prediksi semacam itu, saya mengajukan satu teori yang saya namakan "teori kimiawi kepemimpinan politik". Teori ini bisa mendeteksi derajat kecocokan relasi antara para pemimpin suatu organisasi, dalam hal ini pemerintahan Indonesia periode 2024 - 2029. Teori ini diramu dari dua konsep teoretis tentang kepemimpinan. Pertama, ilmuwan politik Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy (1962) membagi kepemimpinan menjadi solidarity maker dan administrator. Solidarity maker adalah tipe pemimpin yang mampu menyatukan semangat anak buah, menggalang hubungan masyarakat, karismatis, mampu berkomunikasi dengan masyarakat dan menampung aspirasi masyarakat. Sementara itu, administrator adalah tipe pemimpin yang berpijak pada data, sistematis, kaya pengalaman lapangan, dan kuat dalam implementasi.
Berdasarkan pembagian ini, Feith mengkategorikan Sukarno sebagai solidarity maker dan Hatta sebagai administrator. Karena itu, keduanya saling mengisi dan duet pemimpin ideal bagi Indonesia pada masanya. Namun, konsep Feith terlalu simplistis. Misalnya, seorang pemimpin boleh jadi mampu menyatukan semangat anak buahnya, tapi tidak visioner. Atau mungkin saja ada pemimpin tipe administrator yang mampu membuat cetak-biru kebijakan bagus, tapi tidak mampu mengeksekusinya.
Kedua, Ludeman dan Erlandson dalam buku klasik teori kepemimpinan Alpha Male Syndrome (2006) mengklasifikasikan empat tipe kepemimpinan sebagai pelengkap teori Feith. Ada tipe komandan yang tegas, kuat, otoritatif. dan sangat berorientasi prestasi. Kelemahan tipe ini adalah mereka kerap tergoda untuk menjadi pemain tunggal. Suharto, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo masuk ke tipe ini.
Kemudian, tipe visioner yang kerap menunjukkan pandangan tentang masa depan, melakukan lompatan kreatif, berpendirian kukuh, dan memiliki insting kuat. Kelemahan tipe ini adalah terlalu percaya diri dengan ide-idenya, defensif ketika ditentang, tak mau menerima masukan dan tak mendapat dukungan dari orang-orang pragmatis. Sukarno dan Gus Dur adalah dua contohnya.
Selanjutnya, tipe ahli strategi (strategist) yang pikirannya bekerja cepat, berbekal data, dan metodis. Kelemahannya, mereka merasa serba tahu dan kerap tak punya semangat tim. Bung Hatta, BJ Habibie, dan Boediono adalah nama-nama yang tergolong tipe ini.
Terakhir, tipe eksekutor yang memburu hasil dengan disiplin tanpa kenal lelah, memberikan masukan balik, dan menggerakkan orang untuk bertindak. Kelemahannya, mereka terlalu mengurusi hal mikro, tak sabar, amat kritis, dan suka memperlihatkan ketidakpuasan alih-alih apresiasi. Jusuf Kalla dan Jokowi masuk kategori ini.
Prediksi relasi
Berdasarkan teori kimiawi kepemimpinan politik di atas, kita dapat memprediksi relasi Prabowo dan Jokowi dalam peta perpolitikan ke depan. Berdasarkan kepemimpinannya selama 10 tahun, Presiden Jokowi adalah tipe solidarity maker, terbukti dari pesona karismatisnya yang mampu menyihir rakyat bawah dan loyalitas para pengikutnya, sebagaimana ditunjukkan oleh militansi para relawan seperti Projo. Lebih spesifik lagi, Jokowi merupakan solidarity-maker tipe eksekutor mengingat dia bukan tipe orator ulung dengan gagasan cemerlang seperti Soekarno, melainkan lebih suka turun lapangan alias blusukan.