Kita lihat bagaimana satu tulisan yang dibuat 230 tahun lalu (buku Kant terbit pertama pada 1795) begitu relevan saat ini. Kant mengakui watak manusia yang egoistis. Akan tetapi, dia meyakini bahwa umat manusia juga bisa menghasilkan politisi bermoral yang mampu mengupayakan perdamaian. Hanya saja, politisi bermoral itu perlu didukung dengan struktur politik yang demokratis di tingkat nasional dan solidaritas antar bangsa dalam suatu serikat di tingkat internasional, yang kemudian sama-sama mengutuk kolonialisme.
Saat ini, mayoritas negara sebenarnya sudah berwatak seperti yang dianjurkan resep pertama Kant, yaitu bersifat demokratis. Namun, memang ada juga yang belum. Israel adalah contoh negara yang belum demokratis karena didasarkan pada doktrin Zionisme Yahudi yang ingin mengkolonisasi. Padahal, ambisi kolonialisme tidaklah sesuai dengan resep ketiga Kant.
Demikian juga keberadaan serikat atau konfederasi bangsa-bangsa yang dibayangkan Kant sebenarnya sudah terwujud dalam bentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB/United Nations). Hanya saja, PBB ini belum optimal memainkan peranannya, terutama karena adanya hak veto dari negara-negara besar seperti AS yang bisa membatalkan berbagai keputusan PBB terkait upaya penyelesaian konflik.
Terakhir, keniscayaan politisi moral di dunia modern memiliki presedennya dalam sosok-sosok seperti Nelson Mandela dan Uskup Agung (Archbishop) Desmond Tutu yang dengan semangat rekonsiliasi dan tekad moral kuat mampu mengenyahkan politik apartheid dan menciptakan perdamaian lestari di Afrika Selatan.
Alhasil, resep Kant sesungguhnya sudah teruji untuk mewujudkan perdamaian. Tinggal bagaimana umat manusia di dunia memiliki komitmen kuat untuk menerapkannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI