Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tidak Ada Oposisi dalam Demokrasi Pancasila, Suatu Asumsi Keliru

1 Februari 2025   08:32 Diperbarui: 1 Februari 2025   08:47 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sistem politik kita yang rentan guncangan karena merupakan kombinasi sistem pemerintahan presidensial dengan realitas multipartai (Mainwaring, 1999), selalu muncul wacana untuk meniadakan oposisi. Salah satu caranya, seorang Presiden ketika menyusun kabinet biasa mengakomodasi sebanyak mungkin perwakilan partai yang ada di parlemen. Harapannya, jabatan menteri akan membuat partai bergabung dalam pemerintahan dan tidak bersikap kritis atau oposan kepada pemerintah.

Ini dibuktikan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang bahkan merangkul rivalnya, Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum Gerindra, dengan menjadikan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Alhasil, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua bersama K.H Ma'ruf Amin, praktis hanya PKS dan Partai Demokrat (PD) yang kritis kepada pemerintah. Itu pun menyisakan tinggal PKS ketika Demokrat akhirnya bergabung dengan pemerintahan tatkala Ketua Umum PD, Agus Harimurti Yudhoyono, diangkat menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR). 

Presiden Prabowo Subianto juga demikian. Semua partai yang ada di parlemen diberikan perwakilan di kabinet, minus PDI Perjuangan (PDI-P). Namun, itu pun bisa berubah seiring perkembangan politik terkini di mana PDI-P menunjukkan gelagat merapat ke barisan Presiden Prabowo.

Demokrasi gotong royong

Sayangnya, hasrat akan stabilitas politik ini justru berbahaya bagi perkembangan demokrasi politik. Tanpa oposisi, mitra kritis, atau apa pun sebutan eufemistis lainnya, pemerintah bisa lepas kendali karena tidak ada pihak yang mengingatkan dan mengkritik. Alih-alih menciptakan instabilitas politik, kritik justru menyehatkan bagi politik karena menyeimbangkan kuatnya kekuasaan.

Salah satu pengemasan konseptual yang salah kaprah adalah dengan mengatakan bahwa Demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong alias demokrasi gotong royong tidak mengenal oposisi. Sikap ini diyakini oleh banyak orang, termasuk oleh Presiden ke-7 kita, Presiden Joko Widodo. Kutipan dari beliau di Istana Kepresidenan adalah, "Kita ini ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong. Jadi perlu saya sampaikan  bahwa di Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi kayak di negara lain. Demokrasi kita ini adalah demokrasi gotong royong" (dikutip dari Awas Digulung Arus Sejarah, Penerbit Buku Kompas, 2023).

Padahal, bukan begitu definisi demokrasi gotong royong. Merujuk Yudi Latif dalam Negara Paripurna (Gramedia, 2011), demokrasi gotong royong sebagaimana diimajinasikan Bung Karno dalam pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 adalah demokrasi permusyawaratan yang memiliki empat prasyarat. Pertama, demokrasi didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan, bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, demokrasi didedikasikan bagi kepentingan orang banyak. Ketiga, demokrasi berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial dengan melibatkan pendapat semua pihak, termasuk minoritas terkecil sekalipun, demi menangkal dikte minoritas elit penguasa dan pengusaha maupun menangkal klaim-klaim mayoritas.

Memang, tidak ada kata yang secara eksplisit mewajibkan 'oposisi' dalam empat prasyarat demokrasi permusyawaratan di atas. Namun, ada kalimat bahwa tidak boleh ada akomodasi transaksional. Ini bisa mengacu pada praktik bagi-bagi kekuasaan kursi menteri yang lazim terjadi setiap seorang presiden menyusun kabinet. Dan, jelas ini sesuatu yang negatif karena akan mengalangi seorang presiden membentuk kabinet ahli (zaken). Memang, pasti banyak kader partai yang profesional, tapi tetap pertimbangan politis meredam oposisi-lah, bukan pertimbangan meritokratis, yang lebih dominan.

Selain itu, ada prasyarat berupa kemutlakan melibatkan pendapat semua pihak, termasuk minoritas. Minoritas ini salah satunya dapat diartikan sebagai pihak yang berada di luar pemerintahan alias oposisi. Dengan adanya oposisi yang berkualitas, maka tidak ada diktator mayoritas yang direpresentasikan oleh pemerintah dengan koalisi gemuk.

Ruang lapang oposisi

Dengan kata lain, Demokrasi Pancasila cum (sebagai) demokrasi gotong royong cum demokrasi permusyawaratan justru membuka ruang lapang bagi oposisi. Bahkan, oposisi idealnya juga bisa berada di dalam koalisi pemerintahan sendiri. 

Namun di sisi lain, pihak yang beroposisi mesti mengadopsi satu prinsip etika politik juga: sekali keputusan sudah dibuat lewat mekanisme  permusyawaratan yang rasional, setara, dan wajar (fair), semua pihak termasuk oposisi harus menyepakati dan mendukungnya. Hanya dengan begitulah demokrasi permusyawaratan kita bisa memenuhi tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun