Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menggali Genealogi Kuasa Presiden Jokowi, Suatu Kerja Arkeologi Pengetahuan

31 Januari 2025   13:59 Diperbarui: 31 Januari 2025   14:11 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto resmi kenegaraan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Sumber: wikipedia)

Meski kekuasaannya sudah berakhir sejak peralihan kekuasaan ke Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024, tak bisa dimungkiri Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko "Jokowi" Widodo tetap dianggap memiliki pengaruh besar. Bahkan, banyak orang masih kerap menuding Presiden Jokowi terus memegang peranan dalam kebijakan pemerintah saat ini.

Memang sebagai tokoh politik, Presiden Jokowi boleh dibilang salah satu yang tersukses. Bayangkan saja, beliau tidak pernah kalah sepanjang mengikuti berbagai ajang kontestasi politik: dua kali menang pemilihan walikota Solo, satu kali menang pemilihan gubernur Jakarta, dan dua kali memenangi pemilihan presiden (pilpres). 

Saking suksesnya Presiden Jokowi, ada seloroh bahwa pada pilpres 2024 lalu, beliau secara implisit berhasil mengungguli tiga Presiden: Presiden Prabowo Subianto yang bertekad melanjutkan warisan Jokowi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang Partai Demokratnya menjadi anggota koalisi pengusung Prabowo - Gibran, dan Presiden Megawati Soekarnoputri yang calon presiden pilihannya Ganjar Pranowo dikalahkan oleh calon presiden dukungan Jokowi, yaitu Prabowo bersama Gibran.

Orang pun bertanya, bagaimana Presiden Jokowi dari sekadar pengusaha mebel menengah di Solo dan bukan kader utama partai bisa bertiwikrama menjadi sosok dengan kekuasaan maupun pengaruh demikian besar? Pendekatan genealogis dalam kerangka arkeologi pengetahuan bisa menjawabnya.

Genealogis

Merujuk filsuf Michel Foucault yang merupakan penggagas konsep genealogi maupun arkeologi pengetahuan, genealogi adalah "disiplin yang mencari faktor-faktor pembentuk satu artefak pemikiran" (K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid 2, 1996). Pendekatan genealogis memperlakukan satu fenomena sebagai artefak arkeologis pengetahuan sembari menggali monumen-monumen kejadian yang saling berkelindan untuk membentuk artefak tersebut.

Jika mengikuti pendekatan genealogis, pengaruh kuat Presiden Jokowi bisa kita anggap sebagai satu artefak yang ingin dijelaskan. Lalu, sesuai kerangka arkeologi pengetahuan Foucault, kita mulai menggali monumen-monumen yang mengarah ke artefak itu. Proses penggalian diskursus ini merentang mulai dari 2014 hingga saat ini, yang menemukan beberapa monumen.

Pertama, sejak pencalonan pertama Jokowi sebagai capres, dia tidak punya daya memilih calon wakil presidennya (cawapres) sendiri. Dengan label "petugas partai" yang berulang kali disematkan pada dirinya, Presiden Jokowi konon pada 2014 akhirnya mau tak mau menerima Jusuf Kalla sebagai cawapres. Fakta ini diungkap analis politik M. Qadari dalam siniarnya bersama Ahmad Sahal di kanal youtube cokrotv. Ketidakberdayaan ini terulang pada 2019 ketika Presiden Jokowi gagal mengajukan Mahfud MD sebagai cawapres dan harus memilih KH Ma'ruf Amin. 

Kedua, baru dilantik beberapa hari, Presiden Jokowi tampak kesulitan memilih personel pilihannya untuk masuk kabinet. Contohnya, kegagalan Maruarar Sirait (Ara) menjadi menteri yang sudah mendapat lampu hijau dari sang Presiden. Menurut Ara sendiri dalam wawancara di siniar Total Politik, pengangkatannya sebagai menteri kala itu terganjal izin dari petinggi partai pengusung presiden.

Ketiga, hanya beberapa bulan menjabat, Presiden Jokowi di akhir 2014 dan awal 2015 dipusingkan dengan konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Polri akibat tindakan lembaga antirasuah itu mentersangkakan calon Kapolri rekomendasi partai pengusung. Ini disusul dengan proses hukum Polri terhadap sejumlah pimpinan KPK. Di tengah konflik panas tersebut, Presiden Jokowi sampai mengunggah pepatah Jawa, Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, yang artinya 'segala sifat murka hanya bisa dikalahkan dengan kebijaksanaan, kesabaran, dan kelembutan'.

Ketiga monumen ini saja sudah cukup untuk menyimpulkan betapa seorang Presiden Jokowi terus mengalami tekanan besar dalam jabatannya. Namun, sesuai dengan prinsip raja Jawa yang harus mengendalikan diri dan hemat berkata-kata (John Monfries, Raja di Negeri Republik, 2015), Presiden Jokowi memilih tidak banyak menunjukkan respons tersurat. Meski demikian, Presiden Jokowi tampaknya mulai bertekad menyusun strategi guna mempraktikkan kekuasaan secara lebih efektif. Ini selaras dengan budaya Jawa yang memandang kekuasaan sebagai bersifat tetap dan semestinya terpusat di satu tempat (Ben Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, 1984).

Salah satu strategi awal Presiden Jokowi adalah memasukkan Jenderal Luhut Binsar Panjaitan sebagai orang kepercayaannya. Konon cukup ditentang saat akan masuk kabinet, Jenderal Luhut akhirnya diberikan dulu jabatan bernomenklatur baru, Kepala Staf Kepresidenan, sebelum merambah ke berbagai jabatan. Kehadiran Jenderal Luhut terbukti mampu menyeimbangkan tekanan-tekanan terhadap Presiden Jokowi, baik dari luar maupun dari dalam lingkungan kepresidenan.

Juga, Presiden Jokowi pada 2019 melakukan langkah mengejutkan dengan merangkul lawan politik terberatnya, Prabowo Subianto, masuk ke kabinet sebagai menteri pertahanan. Hal ini sekaligus mengundang partai Gerindra sebagai salah satu pendukung setia Jokowi yang dapat menjadi bantalan politik apabila ada satu-dua partai anggota koalisi yang "berulah".

Monumen terpenting

Monumen terpenting yang kian mengukuhkan keperkasaan Jokowi adalah kedatangan pandemi Covid-19. Sebab, Covid-19 membuka kesempatan bagi pemerintah untuk memberlakukan berbagai manuver yang melemahkan masyarakat sipil dan memperkuat kuasa Negara, termasuk Presiden. Pasalnya, pembatasan sosial akibat Covid-19 membuat pemerintah leluasa melemahkan KPK lewat revisi UU KPK dan memperkuat kekuasaan oligarki bisnis lewat pengesahan Omnibus Law Tenaga Kerja tanpa resistensi berarti dari masyarakat sipil yang terbelenggu pembatasan sosial.

Adapun penguatan kuasa politik Presiden terjadi lewat pengesahan Perppu 1/2020 penanganan Corona yang memberikan wewenang begitu besar dan impunitas hukum kepada eksekutif sembari memangkas wewenang DPR dalam merumuskan kebijakan (Dipo Alam, Demokrasi di Tengah Pandemi, 2020). Kombinasi pelemahan KPK, penguatan oligarki bisnis, dan amplifikasi kuasa eksekutif ini kemudian membuat kuasa terpusat ke sosok Presiden Jokowi.


Alhasil, apabila "disenggol", siapa pun dengan konsentrasi kekuasaan begitu besar di tangannya tentu bisa melakukan hal yang tak terbayangkan oleh banyak orang. Datanglah kemudian monumen pidato Ketua Umum PDIP bahwa "Jokowi tak ada apa-apanya tanpa PDI-P" pada 10 Januari 2024 yang konon memicu ketersinggungan dan mencetuskan berbagai perilaku politik yang dicap sebagian orang sebagai "tidak demokratis."

Kisah Bangun Tapa

Monumen terakhir adalah terkait pelestarian kekuasaan Jokowi. Di sini, Jokowi bisa jadi terinspirasi kisah raja Surakarta, Bangun Tapa. Merujuk Anthony Day dalam "Drama Pengasingan Bangun Tapa" (Pusat, Simbol, dan Hirarki Kekuasaan, YOI, 1989), Paku Buwono VI atau Raden Mas Sapardan (1806-1849) adalah raja populer di Surakarta yang mendukung Pangeran Diponegoro dan sejak awal penobatannya menyatakan bahwa dia tidak akan mau berperan sebagai raja boneka. Resistensinya terhadap pemerintahan Belanda ini membuat dia diasingkan di Ambon, sehingga mendapatkan julukan ruhaniah Sunan Bangun Tapa ("raja yang bersamadi").

Dalam kondisi turun tahta ini, Bangun Tapa merasa terasing karena kerjanya hanya makan dan minum. Timbullah kerinduannya akan keraton ideal yang ia tinggalkan di Surakarta, yaitu kerajaan yang bersifat adil dan makmur. Sebagai penghiburan,  Bangun Tapa suatu ketika mendapatkan kunjungan dari seorang pedagang Kotagede. Pada momen ini, sang pedagang menceritakan tentang Surakarta yang sepeninggal Bangun Tapa justru sepi dan gelap. Namun, Bangun Tapa girang ketika mengetahui bahwa puteranya ada dalam keadaan sehat dan begitu disayang oleh sang ayah angkat, Paku Buwono VII yang tidak memiliki anak lelaki. Bangun Tapa lantas meramalkan bahwa sang anak akan memiliki cahaya untuk menjadi Raja (sang anak kelak menjadi Paku Buwono IX).

Di sinilah kita melihat kesejajaran antara Bangun Tapa dan Jokowi.  Sama seperti Bangun Tapa yang sedih melihat kegelapan dalam kerajaannya, Jokowi mungkin khawatir bahwa negara seusai kepemimpinannya juga akan mengalami kemunduran. Karena itu, Presiden Jokowi mungkin membayangkan hanya anaknya-lah yang memiliki cahaya kepemimpinan memadai untuk melanjutkan prestasi sang ayah. Persis seperti keinginan Bangun Tapa supaya anaknya menjadi raja penerus. Maka itu, boleh jadi inilah yang melatarbelakangi restu Jokowi kepada putranya, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Prabowo Subianto.

Jadi, pendekatan genealogis telah menunjukkan bahwa transformasi seorang pemimpin ke arah yang tidak disangka-sangka dan memiliki pengaruh luar biasa sebenarnya merupakan hasil interaksi antar kejadian yang sebagiannya sering kali terjadi karena ulah para aktor politik itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun