Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ingin Membuat Buku Teks Perguruan Tinggi? Ikuti 4 Tips Konkret Ini

31 Januari 2025   10:40 Diperbarui: 31 Januari 2025   09:40 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover Buku Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi karya Satrio Wahono (Sumber: www.gramedia.com)

Setiap mahasiswa di negeri ini pastilah mengetahui istilah Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU). Sebab, mereka memang wajib mengikuti rangkaian MKWU tersebut sesuai dengan pasal 35 ayat (3) Undang-Undang (UU) No.12 tahun 2012 yang menyatakan, kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah: agama, Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia. Tujuannya adalah supaya mahasiswa---minimal di tingkat sarjana dan diploma berdasarkan pasal 35 ayat (5) UU 12/2012---dapat
mengembangkan kecerdasan intelektual, akhlak mulia dan keterampilan sesuai dengan pasal 35 ayat (2) dari UU yang sama.

Seturut dengan tuntutan adanya MKWU bagi mahasiswa, kebutuhan akan bahan atau buku ajar yang berkualitas pun menjadi mutlak, Pada titik inilah, para dosen punya peranan strategis untuk membuat buku ajar terkait. Sayangnya, karena budaya menulis di kalangan sivitas perguruan tinggi secara umum lebih rendah dibandingkan budaya oral (lisan) mengajar di kelas, sebagian dosen kerap kebingungan tatkala diminta untuk membuat buku ajar MKWU. Karena itu, berdasarkan pengalaman penulis mengarang buku ajar Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi (Akademika, 2017), ada sejumlah langkah yang bisa memudahkan kerja mulia itu.

Prinsip ATM

Pertama, penulis atau tim penulis perlu mencari acuan baku (guideline) untuk memastikan bahwa buku yang mereka tulis sesuai dengan standar akademis dan negara. Untungnya untuk MKWU, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) pada 2016 telah membuat panduan semacam itu sebagai rujukan. Kita bisa mengunduh panduan itu beserta rancangan pembelajaran semester (RPS) secara gratis di sejumlah situs Internet, termasuk situs resmi Dirjen Dikti.

Akan tetapi, tentu dosen penulis tidak bisa mentah-mentah meniru panduan tersebut mengingat sifatnya yang hanya bersifat panduan. Karena itu, dosen penulis perlu mengadopsi prinsip ATM yang merupakan singkatan dari Amati, Tiru, dan Modifikasi. Maksudnya adalah mengamati panduan DIKTI tersebut, meniru yang memang cocok dengan konteks kampus dosen masing-masing, dan memodifikasi konten sesuai dengan kebutuhan. Ini juga sangat mungkin karena panduan DIKTI sejatinya memang memberikan ruang lapang untuk modifikasi tersebut. Sebagai contoh, untuk 14 minggu perkuliahan Pancasila, panduan DIKTI hanya memberikan tujuh bab topik. Artinya, dosen penulis sebenarnya punya keleluasaan untuk membuat tujuh bab topik tambahan sesuai dengan kebutuhan dan ciri khas kampus tempat mereka mengajar. 

Begitu juga, panduan mata kuliah Kewarganegaraan hanya memberikan 10 bab, sehingga dosen penulis punya ruang untuk mengembangkan empat bab lagi guna mengisi sisa sesi perkuliahan. Misalnya, kampus-kampus Islam bisa saja menambahkan bab-bab terkait relasi Islam dan Pancasila (untuk mata kuliah Pendidikan Pancasila) atau Islam dan Demokrasi (untuk Pendidikan
Kewarganegaraan), dan beraneka topik lainnya.

Kedua, dosen penulis biasanya menemui kesulitan ketika merumuskan capaian pembelajaran bagi mahasiswa untuk dituangkan ke dalam RPS. Namun, lagi-lagi hal ini tidaklah sulit karena kita bisa merujuk pada taksonomi Bloom yang memang umum dipakai. Berdasarkan taksonomi Bloom (dikutip dari Vanderbit University yang bisa dilihat di ctf.vanderbilt.edu/blooms-taxonomy), ada enam tingkatan pencapaian kognitif siswa lengkap dengan korespondensi kata kunci masing-masing. Enam tingkatan itu dari yang terendah hingga tertinggi adalah: mengingat (mendefinisikan, menduplikasi, mengurutkan, mengulangi, menyatakan); memahami (mengklasifikasikan, mendeskripsikan, menjelaskan,mendiskusikan, dan lain sebagainya); menerapkan (mengeksekusi, memecahkan, menggunakan, menerapkan, dan lain-lain); menganalisa (membedakan, membandingkan, menguji, dan lain sebagainya); mengevaluasi (mempertahankan, mengajukan pendapat, mendukung, mengkritik, dan lain-lain); dan menciptakan (merancang, mengkonstruksikan, mengembangkan, merumuskan, dan lain sebagainya).

Biasanya, capaian pembelajaran untuk mahasiswa strata diploma atau sarjana (D3/S1) maksimal hanya menyentuh kriteria keempat (menganalisa), yang merupakan kriteria awal dalam higher-order thinking skills (HOTS) alias kecakapan berpikir tingkat-tinggi. Sebagai contoh, capaian belajar untuk materi perkuliahan sejarah Pancasila bisa berupa: mahasiswa mampu menjelaskan proses terjadinya Pancasila dari pidato Sukarno 1 Juni 1945 hingga pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Di sini, kita menggunakan kata menjelaskan yang masuk dalam tingkatan kedua taksonomi Bloom, yaitu memahami.

Ketiga, dosen penulis sebisa mungkin perlu memasukkan isu-isu yang aktual dalam kurun waktu lama. Sehingga, buku akan terkesan relevan, segar, dan menggugah meski dibaca beberapa tahun kemudian setelah buku ditulis. Misalnya saja, memasukkan isu-isu seputar pandemi, korupsi, kesejahteraan ekonomi, kesadaran pajak, disrupsi teknologi informasi, artificial intelligence, kripto, dan lain sebagainya jelas akan menarik minat mahasiswa sampai kapan pun mengingat isu-isu tersebut akan terus hadir untuk waktu
lama.  Tambahan lagi, menyisipkan isu-isu aktual akan membantu dosen penulis menghilangkan writer's block (kebuntuan menulis). Sebab, isu-isu demikian mudah memicu penulis untuk menyusun lead kalimat sebagai pembuka tulisan.

Keempat, dosen penulis harus membuat kalimat efektif supaya buku tidak melelahkan untuk dibaca. Stephen King dalam On Writing (Qanita, 2005) merumuskan bahwa kalimat efektif itu sebaiknya antara 15-20 kata. Adapun Hernowo dalam Andai Buku itu Sepotong Pizza (Kaifa, 2003), mengatakan bahwa tulisan sebaiknya diberi jeda (bentuknya bisa berupa kotak page-stopper berisi fakta-fakta menarik atau penomoran sub-bab baru) setiap 6-8 halaman. Kegunaan dua resep ini adalah mengingatkan para penulis untuk menahan diri dari meluapkan terlalu banyak ide ke dalam satu alinea atau paragraf (verbose).

Kemudian, setiap selesai menulis entah itu satu paragraf atau satu bab, dosen penulis sebaiknya memberi jeda waktu. Setelah jeda, bacalah kembali kalimat yang sudah ditulis dan mulailah 'tega' memangkas kalimat-kalimat yang bertele-tele atau tidak perlu. Dalam istilah kepenulisan, pekerjaan berat ini disebut killing the darlings. Ingatlah juga resep menulis klasik bahwa seorang penulis boleh menulis sekehendak hati, tapi nantinya harus menyunting tulisannya sendiri dengan kepala dingin (write with your heart, but edit with your head).

Berbekal keempat langkah di atas, dosen sebagai profesi mulia niscaya bisa kian memaksimalkan tebaran manfaatnya dalam mendidik anak-anak bangsa generasi penerus negeri ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun