Berdasarkan persamaan ini, saya sempat bertanya-tanya, apakah ada pengaruh kultur Sulawesi Selatan di dalam gaya kepemimpinan mereka.Â
Tanpa disangka, saya kemudian menemukan jawabannya dalam konsep antropologi politik yang ditemukan oleh putra daerah Sulawesi Selatan juga, Prof. Mattulada (1928 - 2000), yaitu konsep kepemimpinan maritim atau kapitan laut.
Seperti dikemukakan M Dahlan Abubakar dalam Mattulada: Dari Pejuang hingga Ilmuwan (Penerbit Kompas, 2023), kepemimpinan masyarakat Sulawesi Selatan mengacu pada model kehidupan berperahu yang disebutnya sebagai pola kapitan laut, yaitu kepemimpinan yang didasarkan pada kemampuan dan prestasi untuk sampai kepada puncak piramida sosial.Â
Seseorang baru mungkin menjadi nakhoda atau kapitan setelah melalui pengalaman berjenjang, mulai dari anak tangga terbawah fungsi-fungsi kehidupan berperahu.
Maka itu, kepemimpinan maritim atau pola kapitan laut sangatlah terbuka, memacu masyarakat untuk berkompetisi mencapai prestasi, dan menjadikan konflik sebagai dinamika wajar dalam kehidupan persaingan.Â
Singkat kata, kepemimpinan maritim bersifat demokratis, egaliter, dan meritokratis (hanya yang memiliki merit atau prestasi yang layak menjadi pemimpin).
Dari kerangka teoretis Prof. Mattulada ini, saya jadi paham mengapa Habibie dan JK menjadi dua pribadi yang terkenal sangat demokratis. Misalnya, Pak Habibie terkenal sangat terbuka menerima masukan dan kritik, bahkan dari menterinya sekalipun yang nota bene merupakan bawahannya.Â
Ini dibuktikan dengan kesaksian Prof. Muladi yang ketika menjadi Menteri Kehakiman kabinet BJ Habibie mengaku bahkan sering berdebat sengit dengan sang Presiden (kesaksian dikutip dari buku Tjipta Lesmana, Dari Soekarno sampai SBY, Gramedia, 2013). Habibie begitu merangkul debat maupun kritik karena meyakini itu akan menghasilkan kebijakan yang berkualitas.
Demikian juga JK. Semasa menjabat wakil presiden, JK terkenal di kalangan wartawan sebagai narasumber yang siap menjawab semua pertanyaan, bahkan ketika dicegat secara doorstop sekali pun.Â