Dalam industri ini, manusia bisa berpretensi untuk kembali mengenang, merenung, melamun, tersenyum, berbagi dengan anak-anak mereka, untuk kemudian tersegarkan dan bersiap menceburkan diri lagi ke dalam telaga deras penanda-penanda (signifiers) saat ini. Jadilah kita terkesan hidup di dunia simulakra yang seolah-olah, jika merujuk filsuf Jean Baudrillard (Yasraf Amir Piliang,
Hiperrealitas Kebudayaan, LKIS, 1999). Dan, kita sekarang hanya perlu memetik hikmah penting dari fenomena kekuatan nostalgia ini: betapa manusia secara fitrah mendambakan kesederhanaan dan betapa hidup itu sejatinya sekadar cukup, tidak berlebih. Artinya, bahagia itu sederhana, tapi manusialah yang kadang suka memperumitnya dan berkubang dalam aksi eksploitasi-tanda ekseksif hampa makna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI