Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Islam Juga Punya Etos Ekonomi Mumpuni, Satu Disertasi Ini Memberi Bukti

26 Januari 2025   09:09 Diperbarui: 26 Januari 2025   16:41 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini, umat beragama selalu mencari tautan praktis antara ajaran agama yang ia anut dengan dampak nyata di kehidupan dunia, utamanya kehidupan ekonomi. Dalam tataran ilmiah, sosiolog Max Weber merintis studi soal ini dalam bukunya The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism (1905). Dalam bukunya itu, Weber menyatakan perkembangan pesat kapitalisme di dunia Barat dipicu oleh dua hal, yaitu rasionalitas berorientasikan tujuan (purposive rationality) dan etika Protestan-Calvinis. 

Purposive rationality adalah bagaimana manusia melakukan pertimbangan rasional untuk mencapai tujuan. Sementara itu, etika Protestan-Calvinis mengajarkan asketisme keduniawian (this-wordly asceticism) bahwa ikhtiar menggapai kekayaan duniawi itu membuktikan kesungguhan di dalam menjalani kehidupan di dunia fana. Sekaligus, kesuksesan duniawi akan menjadi indikasi bahwa penganut Calvinis mampu menerapkan panggilan (calling) agama demi menjadi 'yang terpilih'. Sebab, sang pemeluk agama telah membuktikan kesalehan atau asketisme keduniawiannya.

Stigma tentang Islam

Di sisi lain, ajaran Islam sering mendapatkan stigma sebagai agama yang menjauhi dunia. Ini terutama jika mengacu pada ajaran tasawuf atau mistisisme Islam yang konsep zuhud-nya sering diartikan sebagai ajakan menampik dan bahkan membenci dunia. Padahal, stigma itu keliru. Setidaknya, itu dibuktikan oleh disertasi M. Luthfi Malik di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia (dibukukan sebagai Etos Kerja, Pasar, dan Masjid, LP3ES, 2013). Dalam studinya itu, Luthfi Malik merumuskan kerangka teoretis bahwa Islam justru memandang aktivitas ekonomi sebagai bagian integral dari ajaran agama. Bahkan, pencapaian kekayaan dianggap penting karena hartanya itu nanti bisa digunakan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan sesama manusia, seperti dengan membangun masjid, membantu orang miskin, menunaikan ibadah haji, dan lain sebagainya.

Konsep yang menaungi "etos ekonomi Islam" ini adalah falah (kesejahteraan). Bagi Islam falah adalah orientasi kehidupan Islami untuk mencapai keberuntungan dunia maupun akhirat. Dari sini, terbentuk konsep Islam yang komprehensif (kaffah) di mana ekonomi menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran agama. Aktivitas ekonomi perdagangan menjadi bagian juga dari aktivitas muamalah hingga membentuk kesalehan sosial yang membentuk satu kesatuan dengan kesalehan individual. Semua rangkaian inilah yang kemudian membentuk "etos ekonomi Islam." Untuk lebih mudah memahaminya, kita bisa melihat diagram berikut.

Diagram terbentuknya etika ekonomi Islam (Sumber: koleksi pribadi)
Diagram terbentuknya etika ekonomi Islam (Sumber: koleksi pribadi)

Kerangka teoretis ini kemudian digunakan Luthfi Malik untuk meneliti kesuksesan ekonomi pedagang kaum migran Gu-Lakudo di Sulawesi Tenggara. Kesimpulannya, bagi pedagang Gu-Lakudo, modal terpenting untuk memulai usaha bukanlah modal material, melainkan modal nonmaterial berupa modal spiritual keagamaan berupa aktualisasi ajaran Islam. Sebab berbekal modal kesalehan sosial-individual ini, seorang pedagang akan menumbuhkan kepercayaan (trust) pihak lain sekaligus memperluas jejaring sosial (social network). Dua hal ini kemudian memudahkan pedagang untuk mendapatkan modal finansial, seperti dari bank misalnya, dan meraih kepercayaan dari pelanggan hingga membuahkan kesuksesan.

Dengan kata lain, sama halnya dengan etika ekonomi Protestan, etika atau etos ekonomi Islam juga terbukti mampu mendatangkan kesejahteraan dan kesuksesan bagi pengamalnya. Sekaligus, ini membantah anggapan miring bahwa ajaran Islam itu bersifat menjauhi dunia dan tidak kompatibel dengan dinamika kehidupan ekonomi modern.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun