Setiap kali menyebut Pancasila, Indonesia senantiasa menjumpai tragedi betapa pelaksanaan Pancasila masih jauh panggang dari api. Pancasila hanya indah sebagai ideologi di tataran kosmetik, tapi melempem dalam praktik.
Padahal, absennya ideologi negara dalam tata laku masyarakat kita adalah pangkal lahirnya banyak masalah: kian rapuhnya rasa nasionalisme, meruyaknya korupsi, maraknya kekerasan horisontal, tipisnya budaya demokrasi, hingga munculnya ideologi-ideologi sempalan yang tak segan-segan menggunakan kekerasan.
Sungguh tragis! Ini mengingat Pancasila merupakan dasar filsafat negara (philosofische grondslag) yang dilandasi satu spirit etis luhur nan mulia bernama cinta-kasih. Apalagi ini diperkuat salah seorang tokoh filsuf dan pemikir besar Indonesia, Romo Nicolaus Drijarkara.
Mengada bersama orang lain
Dalam makalahnya bertarikh 1959 yang berjudul “Cinta Kasih Sebagai Pemersatu Sila-Sila” (dalam Karya Lengkap Driyarkara, Gramedia Pustaka Utama, 2006), Drijarkara mengemukakan bahwa manusia di dunia ini tidaklah bisa hidup sendirian. Sebaliknya, dia harus mengada bersama orang lain (Mit-sein). Pendek kata, identitas satu individu juga dibentuk dari hubungannya dengan orang lain.
Di sisi lain, mengada bersama orang lain itu tidaklah berjalan secara sembarangan. Melainkan, harus dilandasi dengan rasa hormat dan cinta-kasih (liebendes Mit-sein). Ringkasnya, modus mengada itu harus menumbuhkan etos toleran, saling membantu, dan mengakui sesama manusia sebagai pribadi (persona) ketimbang objek.
Berpijak pada spirit cinta-kasih ajaran Drijarkara inilah, kita bisa menafsirkan secara filosofis kepribadian bangsa yang ideal di dalam satu Negara Pancasila. Pertama, dalam konteks sila ketuhanan, segala tindak-tanduk manusia atau bangsa Pancasila dalam kehidupan beragama dan antarumat beragama haruslah berjalan dengan spirit cinta-kasih. Konkretnya, umat beragama—baik yang mayoritas maupun minoritas—harus sama-sama mengembangkan sikap beragama yang toleran, saling menghormati, dan tidak menyerang umat beragama yang lain.
Kedua, dari segi sila kemanusiaan yang adil dan beradab (atau internasionalisme dalam versi pidato Soekarno), spirit cinta-kasih itu mutlak mewujud dalam bentuk utama penghargaan terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum (rule of law). Konsekuensinya, penegakan hukum (law enforcement) yang baik dan adil menjadi satu hal yang tak boleh ditawar-tawar lagi.
Ketiga, dari aspek persatuan, manusia Indonesia yang tinggal dalam negara Pancasila seyogianya memandang sesama warga dengan penuh cinta-kasih sebagai bagian dari bangsa yang sama. Artinya, warga negara yang berbeda—misalnya dari segi paham politik atau ekonomi—tetaplah merupakan saudara kita sesama warga negara. Apabila ini dijalankan, penyakit akut bangsa ini seperti separatisme, konflik horisontal dan ketegangan pusat-daerah, dan kepentingan pragmatis sempit niscaya akan terkikis. Lebih konkret lagi, ini mewujud dalam konsep Wawasan Nusantara sebagai bagian geopolitik Indonesia yang merupakan cara pandang bangsa Indonesia menganggap dirinya dan wilayahnya sebagai satu kesatuan (Winarno, Pendidikan Kewarganegaraan, Rineka Cipta, 2012).
Keempat, dari sisi demokrasi atau kerakyatan, spirit cinta kasih seyogianya menghalau praktik pembuatan keputusan atau kebijakan politik yang sekadar mengikuti suara mayoritas. Juga, tidak didikte oleh tirani minoritas semisal minoritas pengusaha atau minoritas penguasa atau minoritas apa pun juga. Sebaliknya, praktik pembuatan kebijakan (policy-making) mesti melibatkan seluruh warga masyarakat dalam satu proses kerja sama yang saling menghormati demi memajukan kepentingan bersama.