Meski Indonesia mengaku secara filosofis sebagai penganut sosialisme-religius sebagaimana digariskan salah satu founding father bangsa ini, Bung Hatta, tak bisa dimungkiri praktik ekonomi kita justru condong ke arah kapitalisme sebagai satu paham yang lebih mementingkan peranan swasta dan memangkas peranan negara dalam penataan ekonomi.
Memang, negara masih mempertahankan dua watak sosialistis: memberikan sejumlah subsidi dan bantuan sosial serta
memiliki badan usaha milik negara (BUMN) sebagai perpanjangan tangan negara untuk menguasai sektor-sektor penting. Namun, dengan begitu bebasnya asing menguasai saham mayoritas di berbagai institusi sektor strategis, seperti perbankan dan pertambangan, kita harus mengakui kekentalan unsur sosialis sudah demikian encer oleh kebijakan kapitalistis.
Di sisi lain, kapitalisme tidak bisa secara sederhana dituding sesat karena kapitalisme memiliki banyak varian. Persoalannya, apakah ada varian kapitalisme yang cocok bagi Indonesia?
Empat varian
Merujuk William J. Baumol, Robert E. Litan, dan Carl Schramm dalam Good Capitalism, Bad Capitalism, and the Economics of Growth and Prosperity (2009), sejauh ini ada empat varian kapitalisme. Pertama, kapitalisme oligarki (oligarch capitalism). Inilah wajah terburuk kapitalisme di mana kekuasaan dan uang sangat terkonsentrasi hanya di segelintir orang (elit). Bukan sekadar menyuburkan kesenjangan dan tidak mendorong pertumbuhan sebagai tujuan utama kebijakan ekonomi, para elit justru membuat
aturan untuk memupuk kekayaan bagi diri mereka sendiri. Contoh pengamal varian ini adalah sejumlah negara di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika.
Kedua, kapitalisme bimbingan negara (state-guided capitalism). Menurut varian ini, negara harus menjadikan pertumbuhan sebagai tujuan sentral, tapi dengan menganakemaskan industri tertentu. Caranya, memberikan berbagai fasilitas pajak, kredit, subsidi dan aneka regulasi kepada industri termaksud. Kita bisa menyebut sejumlah negara Asia Tenggara dan China sebagai model. Kelemahan
varian ini adalah negara bisa saja salah memilih industri atau terlalu banyak mengucurkan dana sehingga menjerembabkan negara dalam kesulitan finansial. Bisa juga pemerintah sebagai pengelola negara tergoda hanya untuk memperkaya elit politik antara mereka saja.
Ketiga, kapitalisme manajerial (managerial capitalism). Dalam varian ini, perusahaan-perusahaan besar mendominasi produksi dan peluang kerja. Kehadiran perusahaan kecil dimungkinkan, tapi mereka umumnya hanya perusahaan retail atau penyedia jasa dengan sedikit pegawai. Di sini, perusahaan besar kian meraksasa karena menerapkan skala produksi besar untuk menciutkan ongkos produksi (economies-of-scale) dengan cara menyempurnakan proses produksi massal. Jepang dan sejumlah negara Barat adalah
motor varian ini. Kekurangan varian ini, ia enggan memupuk inovasi radikal mengingat inovasi demikian bisa membunuh produk perusahaan besar. Alhasil, varian ini lebih melestarikan kesenjangan antarentitas bisnis dan menghambat mobilitas bisnis kecil termasuk kaum wirausahawan.
Keempat, kapitalisme wiraswasta (entrepreneurial capitalism). Yakni, varian kapitalisme di mana perubahan lahir akibat inovasi radikal dari inisiatif swasta/individu, seperti inovasi di bidang teknologi informasi, transportasi, dan lain sebagainya. Saya menafsirkan lebih jauh bahwa dalam kapitalisme ini, kisah-kisah kesuksesan orang yang memulai dari nol (from zero to hero, from nothing to something) menjadi lebih mungkin dibandingkan dalam kapitalisme perusahaan besar.
Konteks Indonesia
Berdasarkan keempat varian kapitalisme di atas, bagaimana corak kapitalisme Indonesia? Secara historis, Indonesia pernah menerapkan sejumlah varian di atas. Misalnya, Indonesia era Orde Baru (Orba) adalah pengamal setia kapitalisme bimbingan negara. Kita lihat bagaimana Indonesia dulu berupaya menganakemaskan sektor industri ketimbang pertanian demi mencapai pertumbuhan ekonomi. Bahkan pada 1990-an, rezim Orba mencoba menganakemaskan industri otomotif dengan memberikan berbagai fasilitas kepada proyek mobil nasional. Sayangnya, Indonesia salah memilih industri sehingga dana yang
digelontorkan terbuang percuma dan membuahkan kegagalan.
Masih di era sama, kapitalisme bimbingan-negara lantas bersenyawa dengan kapitalisme oligarki. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang dimotori negara hanya terpusat pada penguasa dan kroni-kroninya. Alhasil, segala kebijakan ekonomi justru hanya memupuk kekayaan para oligarki dan meminggirkan kepentingan rakyat. Kelas kapitalisme yang tumbuh pun bentukan penguasa semata, bukan karena etos wirausaha mereka. Dengan kata lain, kapitalisme era Orba adalah ersatz capitalism alias kapitalisme semu sebagaimana dikemukakan Yoshihara Kunio dalam The Rise of Ersatz Capitalism (diterjemahkan menjadi Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES, 1990).