Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menganalisa Rahasia Kapitalisme Khas China, Wawasan dari Peter Berger

24 Januari 2025   17:46 Diperbarui: 24 Januari 2025   16:55 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosiolog Amerika, Peter Berger (sumber: www.pinterest.com)

Sudah menjadi konsensus umum bahwa China adalah salah satu perekonomian raksasa di dunia saat ini. Makin hari China justru kian meraksasa hingga menjadi salah satu kekuatan besar yang mampu menandingi hegemoni Amerika Serikat (AS). Padahal, meski berlabel negara komunis, kita jelas tahu bahwa China sejatinya juga menerapkan prinsip kapitalisme dalam tata kelola perekonomiannya. Seperti yang dulu dikemukakan Deng Xiaoping, "Saya tak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting ia bisa menangkap tikus." Lantas, apa yang membedakan kapitalisme 'rasa' China dengan kapitalisme yang dijalankan oleh negara-negara lainnya?

Revolusi Kapitalis

Sosiolog Peter Berger sebenarnya sudah jauh-jauh hari menganalisa permasalahan ini dalam buku klasiknya Capitalist Revolution
yang ditulis pada 1986. Dalam bukunya ini, Berger menumpahkan kekagumannya terhadap keberhasilan perekonomian negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan China. Sebab, berbekal kapitalisme, negara-negara ini berhasil secara drastis pada era 1980-an untuk memangkas kemiskinan dan mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Untuk menyingkat isi buku tersebut, bisa dikatakan bahwa Berger seakan mau menangkal argumen Weber yang mengatakan budaya Konfusianisme sebagai penghambat kapitalisme. Berger pada intinya ingin menjelaskan bahwa, di bawah kapitalisme, kunci keberhasilan ekonomi negara-negara Asia Timur tersebut terletak pada aspek budaya. Yakni, apa yang disebut Berger sebagai budaya Sinitik yang mengajarkan penganutnya untuk bekerja keras, menghormati otoritas, dan bersikap asketis. Karena itu, Berger mengatakan budaya ini sebagai padanan fungsional alias pengganti dari Etika Protestan yang dikemukakan Weber.

Untuk memperkuat ini, kita bisa lantas membaca liputan khusus majalah Time tentang rahasia kesuksesan perekonomian China("5 Things the U.S. Can Learn From China" dalam Time, November 23, 2009). Dalam laporannya itu, Time berhasil mengidentifikasi lima nilai budaya dasar yang krusial bagi keberhasilan China. Pertama, bersikaplah penuh ambisi. China adalah jagonya mencanangkan tujuan dan merancang rencana terfokus untuk menggapai tujuan itu. Salah satu hasil dari ambisi tersebut adalah kemegahan yang dapat disaksikan masyarakat dunia dalam perhelatan akbar Olimpiade 2008.

Kedua, utamakan pendidikan. Seakan mengamini pendapat filsuf-kaisar Marcus Aurelius yang dikagumi Perdana Menteri Wen Jiabao, China sangat mengagungkan peranan penting pendidikan sebagai sumber daya intelektual yang akan berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Lihat saja, tingkat melek-huruf mereka mencapai lebih dari 90 persen  dan anak-anak didik China unggul sekali dalam bidang matematika dan sains.

Ketiga, rawatlah orangtuamu. Orang China menganggap kewajiban tertinggi mereka-lah untuk merawat orangtua sebagai balas budi atas kasih orangtua yang telah membesarkan mereka. Ini berbeda dengan pandangan orang Amerika yang menganggap
merawat orangtua itu sebagai beban dan memilih menyerahkan orangtua mereka kepada panti jompo (nursing home). Padahal, biaya ekonomi panti jompo sebenarnya mahal, mencapai lebih dari $85.000 per tahun per orang. Selain itu, merawat orangtua di rumah
sendiri sejatinya memiliki keuntungan: orangtua ikut mengasuh dan mendidik anak---salah satu pengeluaran besar pula di AS dengan menyewa nanny atau pengasuh anak---saat ayah dan ibu mereka bekerja, dan ikut melestarikan nilai-nilai luhur budaya
keluarga dan bangsa.

Keempat, banyaklah menabung dan berhemat. Di China, survey menunjukkan bahwa rata-rata satu keluarga China menyisihkan 20% penghasilan mereka untuk ditabung. Ini tentu sangat membantu perekonomian China karena tingkat tabungan yang sehat, termasuk tabungan pemerintah dan dunia usaha yang sehat, adalah salah satu indikator penting bagi kesehatan keuangan jangka panjang suatu negara.

Kelima atau terakhir, selalu bersiap-siap mengantisipasi masa depan. Di China, caranya adalah dengan mengamalkan pepatah bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Penghematan atau menabung sebagai nilai keempat merupakan salah satu
contoh. Contoh lainnya lagi, para murid rela bersekolah siang-malam karena yakin di masa depan mereka akan mendapatkan keterampilan yang berguna di dunia kerja. Jadi masyarakat China saat ini adalah sebuah masyarakat yang berwawasan jauh ke depan.

Kapitalisme bercitarasa lokal

Dari saripati pendapat Berger di atas, ada sejumlah pelajaran berharga yang bisa dipetik. Pertama, kapitalisme bukan merupakan prinsip-prinsip universal (one-size-fits-all) yang penerapannya bersifat hantam kromo tanpa mempedulikan konteks di mana
kapitalisme diterapkan. Ibarat kata, kapitalisme yang baik seyogianya mengingat prinsip di mana tanah dijejak, di situ langit dijunjung.

Pelajaran kedua, kapitalisme dapat dan semestinya 'diisi' dengan nilai-nilai budaya yang positif demi meningkatkan efektivitas kapitalisme itu sendiri. Nilai budaya itu tentunya bisa diadopsi dari luar (misalnya budaya Sinitik) atau dapat juga digali dari nilai-nilai luhur bangsa sendiri. Apabila ikhtiar penggalian itu ingin dimulai, maka upaya penelitian kebudayaan sebagaimana dilakukan Berger menjadi suatu keniscayaan.

Akan tetapi, tentu saja ada satu catatan (caveat). Yaitu, jangan sampai nilai-nilai lokal itu disalahgunakan untuk kepentingan politik atau penguasa. Misalnya saja, bayangkan apabila dikatakan kapitalisme khas suatu negara adalah kapitalisme di mana warga negara diharuskan membebek pada pemerintah atas nama budaya paternalistis. Jelas, tafsir seperti ini hanya menguntungkan kepentingan politik. Karena itu, untuk menghindarkan ekses seperti ini, perlu dicamkan bahwa kapitalisme berbasiskan-budaya juga mesti mengindahkan aspek-aspek dasariah kapitalisme, seperti penghargaan terhadap inisiatif individu (private enterprise), keharusan menjaga keseimbangan pasar, dan seterusnya.
 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun