Dari saripati pendapat Berger di atas, ada sejumlah pelajaran berharga yang bisa dipetik. Pertama, kapitalisme bukan merupakan prinsip-prinsip universal (one-size-fits-all) yang penerapannya bersifat hantam kromo tanpa mempedulikan konteks di mana
kapitalisme diterapkan. Ibarat kata, kapitalisme yang baik seyogianya mengingat prinsip di mana tanah dijejak, di situ langit dijunjung.
Pelajaran kedua, kapitalisme dapat dan semestinya 'diisi' dengan nilai-nilai budaya yang positif demi meningkatkan efektivitas kapitalisme itu sendiri. Nilai budaya itu tentunya bisa diadopsi dari luar (misalnya budaya Sinitik) atau dapat juga digali dari nilai-nilai luhur bangsa sendiri. Apabila ikhtiar penggalian itu ingin dimulai, maka upaya penelitian kebudayaan sebagaimana dilakukan Berger menjadi suatu keniscayaan.
Akan tetapi, tentu saja ada satu catatan (caveat). Yaitu, jangan sampai nilai-nilai lokal itu disalahgunakan untuk kepentingan politik atau penguasa. Misalnya saja, bayangkan apabila dikatakan kapitalisme khas suatu negara adalah kapitalisme di mana warga negara diharuskan membebek pada pemerintah atas nama budaya paternalistis. Jelas, tafsir seperti ini hanya menguntungkan kepentingan politik. Karena itu, untuk menghindarkan ekses seperti ini, perlu dicamkan bahwa kapitalisme berbasiskan-budaya juga mesti mengindahkan aspek-aspek dasariah kapitalisme, seperti penghargaan terhadap inisiatif individu (private enterprise), keharusan menjaga keseimbangan pasar, dan seterusnya.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI