Ketika pemerintahan otoriter Orde Baru terguling untuk mengantarkan Indonesia memasuki era Reformasi, bangsa ini menjadikan reformasi militer sebagai salah satu proyek utama. Militer yang pada masa itu lebih berperan sebagai "alat penguasa" ketimbang "alat negara" diminta melepaskan sulur- sulurnya yang terlalu menjangkau jauh hingga membelit banyak medan sipil. Harapannya, amputasi belitan sulur militer ke sektor sipil akan membuat militer lebih profesional dan berfokus pada tugasnya
menjaga negara dari ancaman pertahanan dari luar maupun dalam. Muncullah kemudian konsep cangkokan barat bahwa perlu adanya kontrol sipil atas militer. Seturut langkah ini, pemerintah sipil pun mengemban tugas untuk mengendalikan militer supaya tidak menyalahgunakan kekuasaannya yang besar ---karena memegang senjata.
Namun, apakah kontrol sipil atas militer di Indonesia berjalan efektif? Untuk menjawabnya, kita bisa meminjam teori struktural hubungan sipil-militer. Menurut Michael C. Desch dalam Politisi versus Jenderal (Rajawali Pers, 2002), teori itu melibatkan satu variabel independen berupa variabel ancaman yang terbagi menjadi dua: ancaman dari luar (eksternal) dan dari dalam (internal).
Desch lantas melanjutkan satu variabel ini melahirkan empat skenario kontrol sipil atas militer. Pertama, suatu negara yang menghadapi ancaman eksternal tinggi dan ancaman internal rendah akan memiliki hubungan sipil-militer paling stabil. Dalam skenario ini, institusi sipil akan lebih kohesif karena adanya efek bersatu menghadapi ancaman eksternal, yang sekaligus menyatukan faksi-faksi dalam militer. Juga, membuat militer berfokus menghadapi ancaman luar dan mengurangi konsentrasi mengurusi masalah-masalah domestik yang potensi ancamannya rendah.
Kedua, negara yang menghadapi ancaman eksternal rendah dan ancaman internal tinggi akan memiliki hubungan sipil-militer paling lemah. Logikanya: ancaman internal tinggi biasanya membuat institusi sipil lemah dan terpecah-belah akibat kepentingan politik sempit. Akibatnya, faksi-faksi sipil ini berlomba-lomba menggaet dukungan militer dalam konflik internal sehingga memperbesar kemungkinan intervensi militer ke dalam politik.
Ketiga, negara yang menghadapi ancaman eksternal rendah dan ancaman internal rendah akan memiliki hubungan sipil militer tingkat sedang. Sebab, ketiadaan ancaman tingkat tinggi bisa melahirkan pemimpin sipil yang minim pengalaman dan pengetahuan tentang isu-isu militer. Selain itu, ketiadaan ancaman eksternal tinggi bisa melemahkan keutuhan militer. Pada kondisi inilah, konflik tingkat sedang antara sipil dan militer mungkin terjadi.
Keempat, negara yang menghadapi ancaman eksternal tinggi dan ancaman internal tinggi akan mengalami hubungan sipil-militer yang setali tiga uang dengan skenario ketiga, yaitu tingkat sedang. Sebab, munculnya ancaman internal dan eksternal yang sama-sama tinggi bisa menyebabkan perpecahan di antara institusi-institusi sipil. Dari segi militer, keberadaan sekaligus ancaman internal dan eksternal tinggi akan mengacaukan orientasi militer. Akibatnya, ide-ide sipil dan militer bisa tidak sejalan, tapi kadarnya tidak
separah skenario kedua (ancaman eksternal rendah, ancaman internal tinggi).
Bagaimana Indonesia masa kini?
Berdasarkan teori di atas, kita bisa melihat bahwa Indonesia saat ini sedang dalam kondisi berhadapan dengan ancaman eksternal rendah dan ancaman internal yang juga rendah. Kita tidak sedang mengalami konflik bersenjata dengan negara lain, sehingga ancaman eksternal rendah. Di sisi lain, kondisi politik kita juga relatif stabil, apalagi dengan koalisi pemerintahan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka yang merangkul hampir semua partai politik. Memang, masih ada riak politik sedikit terkait dengan konflik di Papua misalnya, tapi secara keseluruhan ancaman internal tetap rendah.
Maka itu, kita bisa mengatakan hubungan sipil dan militer di Indonesia saat ini berada di tingkat sedang menjurus stabil. Mengapa demikian? Ini karena Presiden Prabowo Subianto datang dari latar belakang sebagai elit militer. Sehingga, ini membantah tesis Desch bahwa ancaman eksternal rendah akan melahirkan pemimpin sipil yang minim pemahaman tentang isu kemiliteran. Semoga hubungan stabil ini terus langgeng.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI