Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perlunya Filsafat Memantul Untuk Hadapi Pelemahan Ekonomi

22 Januari 2025   17:55 Diperbarui: 22 Januari 2025   18:00 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis buku Black Swan, Nassim Nicholas Taleb, pada 2010 (sumber: Wikipedia)

Sudah menjadi konsensus para ekonom bahwa negara kita sedang mengalami tantangan ekonomi, yang ditunjukkan oleh banyaknya PHK dan menurunnya daya beli masyarakat.

Namun, keadaan sulit seperti ini harusnya tidak membuat kita patah arang. Melainkan, harus kita jadikan momentum untuk mengembangkan mentalitas memantul. Inilah mentalitas yang disebut oleh pakar manajemen Keith McFarland dalam Bounce (Gramedia, 2012) sebagai kondisi ala bola karet yang ketika dibanting ke bawah, dia justru akan melenting lebih tinggi ke atas. Adapun beberapa syarat utama untuk memantul adalah menerima kondisi memantul (baca: krisis) dan mengelola kegelisahan serta faktor-faktor mental (tetap tenang dan jangan panik). Jadi, kita harus mengelola kesedihan untuk bisa bangkit. Dalam mengelola kesedihan dan membangun mentalitas memantul, kita bisa menengok sejumlah pemikiran filsafat.

Tiga Filsafat

Pertama, filsafat Stoa atau Stoikisme. Salah satu tokoh pemikir utama Stoikisme adalah Lucius Seneca. Dalam surat-surat ringkasnya yang kemudian dibukukan (Letters from a Stoic, Harpercollins, 2020, hal.34), Seneca menganjurkan manusia untuk hidup sesuai dengan kaidah alam, bukan kaidah nafsu. Bagi Seneca, nafsu alamiah sifatnya terbatas, sementara nafsu yang datang dari opini-opini keliru kita tentang diri sendiri bersifat tidak terbatas. Seneca menganalogikan nafsu manusia dengan seorang pengembara. Ketika kita sudah tahu jelas tujuan perjalanan kita, perjalanan itu pasti ada titik akhirnya (terbatas). Sebaliknya, bila kita tersesat, maka perjalanan kita tidak akan pernah berhenti.

Jadi, untuk mengetahui apakah segala perburuan materi dan upaya bertahan hidup (survivability) kita sesuai dengan kaidah alam atau tidak, kita harus merenungkan apakah kerja kita bisa berhenti di satu titik (baca: tujuan finansial). Jika kita merasa bahwa setelah kita berjalan jauh tetap ada tujuan terbentang nun di sana yang ingin kita gapai, itu adalah kondisi yang sudah menyimpang dari kaidah alam dan akan menjauhkan kita dari kebahagiaan. 

Dalam konteks beban ekonomi saat ini, Stoikisme mengajari kita untuk hidup seimbang secara materi. Maksudnya, manusia tidak boleh tergantung pada materi, tapi juga jangan terlalu membencinya. Artinya manusia tidak boleh terjebak pada pola hidup konsumtif yang mementingkan citra, gengsi, dan status sosial seperti marak dalam praktik pamer (flexing) saat ini. Apalagi jika pembiayaan konsumsi itu menggunakan utang. Jika ini kita lakukan, kita akan menyalahi ajaran Stoikisme yang mengingatkan untuk tidak mengikuti nafsu liar tak terkendali. 

Dalam konteks keterhimpitan ekonomi saat ini, filsafat Stoikisme mengajari kita untuk seimbang memandang materi. Maksudnya, ketika pendapatan kita menurun, mau tak mau kita harus rela menurunkan standar hidup untuk sementara waktu (live below your means) sembari terus berikhtiar mencari kanal penghasilan baru. 

Kedua, Buddhisme Zen Takuan Soho. Dalam Unfettered Mind (Gramedia Pustaka Utama, 2007), Takuan mengajarkan bahwa kita harus mempraktikkan jurus "pikiran tanpa berhenti" yang tidak ingin berkubang terlalu dalam pada satu permasalahan. Sebaliknya, jurus ini mengharuskan kita senantiasa bergerak aktif dan terus belajar dalam ikhtiar menggempur permasalahan. Yakinlah bahwa sikap terus berusaha pantang menyerah akan membukakan pintu keluar bagi masalah apa pun yang kita hadapi. Kata kuncinya adalah upaya untuk mencetuskan inovasi terobosan dalam pelbagai bidang kehidupan yang kita geluti.

Ketiga, pemikiran filsafat ekonomi dari Nassim Nicholas Taleb. Dalam buku larisnya Black Swan (2007), Taleb mengutarakan bahwa hal yang tidak diketahui manusia-lah yang sejatinya lebih menentukan nasibnya ketimbang apa yang diketahui. Maksudnya, manusia yang selama ini hidup dalam zona nyaman pengetahuannya tentang kestabilan situasi (diibaratkan seperti manusia yang hanya mengetahui bahwa semua angsa itu putih) ternyata gampang diporakporandakan oleh anomali situasi (angsa hitam), yang dalam dewasa ini muncul dalam bentuk pelemahan ekonomi. Karena itu, manusia harus senantiasa mafhum bahwa segala sesuatu di dunia ini fana dan mudah lenyap. Sehingga, manusia mesti terus belajar dan siap untuk berubah, berikhtiar, sabar, ikhlas dan bersyukur.

Jika kita bisa mencamkan pemikiran filsafat Stoikisme, Zen, dan Nassim Taleb tadi, niscaya kita semua bisa memantul tinggi dari keterbantingan ekonomi saat ini. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun