Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Outlier, Konsep Malcolm Gladwell untuk Atasi Defisit JKN

22 Januari 2025   11:55 Diperbarui: 22 Januari 2025   11:55 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku Outliers karya Malcolm Gladwell (Sumber: koleksi pribadi)

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah program mulia. Betapa tidak, program yang sudah berjalan sejak Januari 2014 ini telah membuka akses warga tidak mampu pada layanan kesehatan. Ibaratnya sekarang "orang miskin tidak lagi dilarang sakit" dengan adanya program asuransi kesehatan semesta ini.

Hanya saja, beberapa tahun belakangan ini, JKN dirundung masalah defisit. Dari periode 1 Januari 2024 sampai Oktober 2024 saja,  defisit sudah mencapai Rp 12,83 triliun (Kompas, 11/11/2024). Hal ini berpotensi mengurangi kualitas layanan kesehatan di fasilitas kesehatan (faskes) maupun rumah sakit-rumah sakit penyedia layanan (provider) dalam bentuk pengetatan syarat pemberian obat, pencairan tagihan (billing) yang terlambat sehingga menyulitkan arus kas rumah sakit, dan lain sebagainya 

Tak pelak, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara JKN bersama seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) harus mencari jalan keluar terkait masalah defisit ini. Pasalnya, selain akan membebani anggaran negara (APBN), defisit yang terus-menerus akan mengalangi BPJS Kesehatan memberikan layanan maksimal. Ujung-ujungnya, masyarakat juga yang akan terkena getahnya berupa teralangnya mereka menikmati layanan kesehatan yang memadai.

Outlier kesehatan 

Salah satu akar permasalahan di balik defisit JKN adalah klaim kesehatan yang selalu tidak sebanding dengan jumlah iuran premi yang terkumpul. Maka itu, kenaikan premi selalu menjadi opsi yang pertama dimunculkan setiap kali ada defisit.  

Padahal, ada satu cara yang sama pentingnya tapi jarang dibahas, yaitu membenahi aspek hulu permasalahan berupa upaya menekan angka klaim. Adapun klaim bisa ditekan jika upaya pencegahan penyakit dilakukan secara baik. Dengan kata lain, jika masyarakat sehat sejak dini, angka klaim pun akan turun dengan sendirinya.

Dari sini, kita bisa memetik pelajaran berharga dari konsep outlier. Menurut Malcolm Gladwell dalam buku larisnya Outliers (Gramedia Pustaka Utama, 2010), outlier adalah sesuatu luar biasa yang menonjol tegas jika dikomparasikan dengan para pembandingnya. Dalam konteks kesehatan masyarakat, Gladwell menemukan outlier pada desa Roseto di New York, Amerika Serikat. Di Roseto, para penduduknya berumur panjang dan tidak ada penduduk berusia di bawah 65 tahun yang mengidap penyakit jantung atau penyakit kronis lain. Ini kian luar biasa karena penduduk Roseto memiliki pola makan kaya lemak alias boleh dibilang "tidak sehat." Tambahan lagi, mereka pun terbilang jarang berolahraga.

Lantas, apa resep sehat para outlier di desa Roseto tersebut? Jawabannya sangat di luar dugaan: pola interaksi antarwarga yang intim, akrab, dan penuh rasa kekeluargaan. Warga desa ini sering dijumpai saling menyapa, bercengkerama dan berbincang hangat satu sama lain. Mereka pun egaliter sehingga segala penonjolan ego maupun status oleh siapa pun (seperti status kekayaan misalnya) dianggap hina dan akan menuai kecaman. Alhasil, tidak ada kesenjangan maupun kecemburuan sosial di Roseto. Singkat kata, penduduk Roseto menjadi luar biasa sehat karena mereka memiliki kehangatan, harmoni, dan kohesi sosial yang tinggi.

Ruang publik  

Artinya, keguyuban atau kehangatan hidup bermasyarakat sebagaimana dilukiskan oleh sosiolog Ferdinand Tonnies dengan istilah Gemeinschaft (Tonnies, Community and Society, Harper & Row, 1967) adalah kunci bagi terwujudnya suatu masyarkat yang sehat secara rohani maupun jasmani.

Dalam konteks kesehatan masyarakat, maka penciptaan ruang-ruang terbuka publik (open, public space) menjadi niscaya. Keberadaan ruang publik yang terpelihara baik dan bisa diakses gratis, plus pusat-pusat belajar maupun kebudayaan (learning and cultural centers) seperti perpustakaan umum dan balai budaya, akan menjadi wahana bagi masyarakat untuk saling berinteraksi dan bertemu untuk menjalin ikatan keguyuban sosial. Ini terutama penting bagi masyarakat perkotaan yang secara fitrah bercorak individualistis. Ruang-ruang publik semacam itu akan menjalin apa yang disebut sebagai, kembali merujuk Tonnies, keguyuban pikiran (gemeinschaft of mind) sekaligus keguyuban tempat (gemeinschaft of place). 

Jadi, sudah saatnya bagi pemerintah di semua level, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah (provinsi hingga kabupaten/kota), mulai giat membuka ruang-ruang publik. Ini ketimbang mal-mal yang bercorak individualistis dan justru merenggangkan ikatan masyarakat. Di level pemerintahan tingkat II misalnya, kita butuh banyak "wagiman" alias "walikota gila taman" atau "Bu Giman" (bupati gila taman) yang menyadari "nilai ekonomi intangible (tak kasatmata)" ruang publik terbuka berupa peningkatan kesehatan mental dan fisik warga kota.

Apabila ikhtiar kebijakan semacam ini ditempuh, niscaya masyarakat secara keseluruhan akan kian sehat, problem klasik angka klaim sekaligus angka defisit JKN bisa ditekan, dan layanan kesehatan semesta (universal coverage) bagi seluruh masyarakat Indonesia akan semakin optimal tanpa perlu membebani anggaran negara.   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun