Dalam konteks kesehatan masyarakat, maka penciptaan ruang-ruang terbuka publik (open, public space) menjadi niscaya. Keberadaan ruang publik yang terpelihara baik dan bisa diakses gratis, plus pusat-pusat belajar maupun kebudayaan (learning and cultural centers) seperti perpustakaan umum dan balai budaya, akan menjadi wahana bagi masyarakat untuk saling berinteraksi dan bertemu untuk menjalin ikatan keguyuban sosial. Ini terutama penting bagi masyarakat perkotaan yang secara fitrah bercorak individualistis. Ruang-ruang publik semacam itu akan menjalin apa yang disebut sebagai, kembali merujuk Tonnies, keguyuban pikiran (gemeinschaft of mind) sekaligus keguyuban tempat (gemeinschaft of place).Â
Jadi, sudah saatnya bagi pemerintah di semua level, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah (provinsi hingga kabupaten/kota), mulai giat membuka ruang-ruang publik. Ini ketimbang mal-mal yang bercorak individualistis dan justru merenggangkan ikatan masyarakat. Di level pemerintahan tingkat II misalnya, kita butuh banyak "wagiman" alias "walikota gila taman" atau "Bu Giman" (bupati gila taman) yang menyadari "nilai ekonomi intangible (tak kasatmata)" ruang publik terbuka berupa peningkatan kesehatan mental dan fisik warga kota.
Apabila ikhtiar kebijakan semacam ini ditempuh, niscaya masyarakat secara keseluruhan akan kian sehat, problem klasik angka klaim sekaligus angka defisit JKN bisa ditekan, dan layanan kesehatan semesta (universal coverage) bagi seluruh masyarakat Indonesia akan semakin optimal tanpa perlu membebani anggaran negara. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI